Komodifikasi Kerajinan di Bali

Kita semua pasti sangat jarang mendengar kata komodifikasi. Apa itu komodifikasi?  Komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Jadi komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan atau pengubahan sesuatu menjadi komoditas (barang dagangan) yang dapat diperjual-belikan. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari paham kapitalisme yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan untung dan rugi. Komoditas dipahami sebagai suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain, komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Komodifikasi ini dipercaya dapat meningkatkan jumlah peminat dan diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Mengenai komodifikasi ini dibahas dalam jurnal  berjudul “Commodification of Crafts in Bali” yang dibuat oleh Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini, I Made Rajeg, dan I Made Netra.

Jurnal ini bertujuan untuk menggambarkan jenis kerajinan Bali, dan penyebab komodifikasi, terutama mengenai kerajinan yang telah mengalami dinamika dari aslinya sebagai hasil dari pesanan (made to order) sejak proses komodifikasi terjadi. Menurut Ni Luh Sutjiati Beratha, kerajinan di Bali pada awalnya disakralkan sekarang telah berubah menjadi komoditas. Dalam segi ukuran dan pewarnaan kerajinan Bali telah berubah, karena siapa pun bisa memesannya. Seperti patung garuda yang dulunya disakralkan kini sudah menjadi komoditas. Saat ini patung garuda tersebut sudah menjadi hiasan yang bisa dibeli oleh wisatawan karena pengaruh dari pariwisata.

Beberapa aspek yang mengalami perubahan yang bentuk, bahan, ukuran, warna, dan membuat metode. Perubahan atau komodifikasi dibuat untuk produk kerajinan oleh seniman Bali sebagai hasil dari urutan (dibuat sesuai pesanan) mengakibatkan dari dua faktor: faktor-faktor internal dan eksternal. Eksternal, hal ini disebabkan oleh dibuat sesuai pesanan dari pelanggan yang umumnya sesuai dengan selera pasar. Selain itu, juga ada pola produksi dan efek pariwisata. Adapun faktor-faktor internal, para pengrajin di desa Kedisan, Ubud, dan Celuk menggunakan imajinasi mereka untuk berinovasi kreatif untuk menciptakan desain baru patung, panel, cermin, perhiasan, dan lukisan yang diproduksi oleh seniman dari tiga desa tersebut. Mereka tampaknya selalu mengikuti selera pasar membuat produk mereka agar disukai oleh konsumen sehingga mereka menghasilkan produk secara besar-besaran.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sutjiati Beratha, et al. (2015) tentang implikasi dari made to order dalam budaya Bali menunjukkan bahwa jumlah pematung tradisional di Bali dapat dihitung dengan jari, yang berarti sangat, sangat sedikit. Saat ini, sebagian besar pematung menggunakan mesin untuk menyelesaikan pesanan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu waktu, jumlah pesanan, harga, jenis kayu (bahan), dll.

Untuk menghindari dan meminimalkan proses komodifikasi menurut Ni Luh Sutjiati Beratha yang juga selaku dekan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini mengungkapkan perlu diadakan pelestarian kerajinan Bali, sehingga otentisitas atau keasliannya tetap dipertahankan. Salah satu strateginya adalah melakukan pelestarian terhadap budaya Bali dan pelestarian itu mutlak misalnya melalui perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Bali. Apabila sudah ada perdanya maka para pematung atau seniman akan berpedoman terhadap isi perda tersebut. Selain itu menurut Ardika (2008) diusulkan untuk meminimalkan komodifikasi dengan cara: (1) untuk meningkatkan kesadaran publik tentang Bali dalam menjelajahi kearifan lokal dan melestarikan nilai-nilai agama dan estetika budaya Bali, (2) Peraturan perlu dibuat dalam bentuk peraturan lokal sebagai kerangka hukum yang harus diikuti untuk melindungi , melestarikan, dan mencegah komodifikasi budaya Bali, terutama terkait dengan objek wisata, (3) penyediaan informasi wisatawan atau kedua belah pihak dalam industri pariwisata tentang nilai-nilai religiusitas dan estetika dari budaya Bali, dan (4) para pengrajin atau seniman untuk patenkan karya mereka, atau untuk mendaftarkan hak cipta untuk menghindari peniruan atau pemalsuan.

Menurut jurnal “Commodification of Crafts in Bali” menyebutkan bahwa proses komodifikasi kerajinan di Bali ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang menyebabkan dinamika atau perubahan terjadi adalah karena permintaan konsumen, selera (trend) pasar, pariwisata dan kondisi ekonomi. Konsumen umumnya berasal dari sebuah perusahaan yang mengharapkan untuk memberikan kepuasan bagi pelanggannya sehingga kualitas, harga, dan berbagai produk yang dipesan dianggap sebagai tujuan utama. Keberhasilan menciptakan bentuk-bentuk baru dengan beragam variasi produk seni adalah hasil dari inovasi bersama antara penjual  dan konsumen untuk mendapatkan pesanan dalam jumlah besar dan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.

Selain itu, pengembangan pariwisata juga sangat mempengaruhi ekonomi dunia. Jika ekonomi dunia stabil (tidak ada krisis global), produksi produk kerajinan yang dikembangkan di Kedisan, Ubud, dan Celuk berjalan baik, pengiriman pesanan dapat dilakukan setiap bulannya sesuai dengan jumlah pesanan yang selalu dalam jumlah besar (lebih dari seribu) yang akan dikirimkan ke Eropa dan Amerika. Krisis global ini ditandai dengan penurunan jumlah pesanan atau permintaan, dan itu mungkin disebabkan oleh runtuhnya industri mitra-mitra dagang mereka di Eropa dan Amerika sehingga proses produksi menjadi terganggu. Penurunan kualitas wisata juga dapat mempengaruhi produksi kerajinan tangan karena walaupun jumlah wisatawan yang datang ke Bali tetap berlimpah, tapi daya beli mereka sangat rendah, kondisi ini juga menjadi penyebab kurangnya pesanan.

Faktor internal sendiri berasal dari keinginan pengrajin untuk berinovasi dengan menggunakan imajinasi dalam menciptakan desain baru kreatif dari produk-produk asli mereka untuk menghindari kebosanan atau kelelahan. Selain itu, faktor ekonomi juga merupakan pemicu para seniman untuk terus berinovasi, menjadi kreatif dalam menciptakan desain baru sehingga produk-produk ini laku dijual di pasaran. Pariwisata dapat menyebabkan proses komodifikasi budaya lokal karena budaya dianggap sebagai objek yang memiliki daya tarik untuk dikonsumsi oleh wisatawan, yang kemudian mengalami proses komersialisasi.

Tentunya Ni Luh Sutjiati Beratha mempunyai harapan agar para pengrajin dapat mengikuti pakem-pakem yang sudah ada dan dapat menyampaikannya ke pemesan. Kalaupun memesan dalam bentuk atau warna sendiri harus mengikuti aturan yang dituangkan dalam perda, langkah tersebut harus dimulai dari pematung atau pengrajin itu sendiri, nantinya pembeli akan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. (Nala)