UPAYA PENCEGAHAN KETERPURUKAN PETANI DI BALI

Penerapan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otda), merupakan momen penting bagi Pemda (Pemprov dan Pemkab) di seluruh Indonesia dalam mengurus rumah tangga daerahnya, terutama dalam melakukan reformasi di berbagai bidang pembangunan, sehingga memberikan corak khusus terhadap pembangunan di daerah masing-masing sesuai dengan potensi daerah. Hal penting yang perlu dilakukan adalah menumbuh-kembangkan wawasan dan ketahanan daerah sebagai pengejawantahan dari wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

Dalam perencanaan pembangunan daerah di era Otda perlu diperhatikan keseimbangan dan kesatuan (entity) wilayah pembangunan ekonomi, sosial dan budaya, lingkungan hidup, politik, dan pemerintahan untuk terwujudnya pembangunan daerah yang berkelanjutan. Pendekatan pembangunan juga perlu mengalami perubahan yakni dari pendekatan topdown ke pendekatan bottom-up dan dari pendekatan terukur ke pendekatan bermakna. Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, maka aspek-aspek yang dominan dalam pembangunan daerah adalah aspek supremasi hukum, ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, politik yang demokratis, pemerintahan yang profesional (good governance), dan kebudayaan daerah tanpa mengurangi pentingnya aspek-aspek pembangunan lainnya, seperti pembangunan pertanian (lihat Depdagri, 1999; Pemprop Bali, 2000; Pemprop Bali, 2001a; Pemprop Bali, 2001b). Jadi, di era Otda adalah kesempatan emas bagi Pemprov dan Pemkab untuk melakukan reformasi pembangunan pertanian, sehingga pertanian mampu menjadi sektor handalan dan sebagai mesin penggerak perekonomian regional dan nasional.

Visi Pembangunan Pertanian periode 2005-2009 adalah terwujudnya pertanian yang tangguh untuk kemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani (Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi IV DPRRI, 25 Nopember 2004). Pertanian tangguh atau pertanian industrial adalah sosok pertanian yang memiliki ciri-ciri yaitu: (1) pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan, memperkuat intuisi, kebiasaan, atau tradisi; (2) kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan sumberdaya; (3) mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa; (4) efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya dan karenanya membuat hemat dalam penggunaan sumber daya; (5) mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana, sekaligus tujuan; (6) profesionalisme merupakan karakter yang menonjol; dan (7) perekayasaan merupakan inti nilai tambah, sehingga setiap produk yang dihasilkan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan lebih dahulu dalam mutu, jumlah, berat, volume, bentuk, warna, rasa, khasiat, dan sifat-sifat lainnya dengan ketepatan waktu.

Untuk mencapai visi pembangunan pertanian tersebut, Departemen Pertanian mengemban misi yang harus dilaksanakan adalah: (1) mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi; (2) mendorong pembangunan pertanian menuju pertanian yang tangguh, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; (3) mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi komoditas pertanian dan penganekaragaman konsumsi pangan; (4) mendorong peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, melalui peningkatan PDB, ekspor, penciptaan lapangan kerja, penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; (5) memfasilitasi pelaku usaha melalui pengembangan teknologi, pembangunan sarana, prasarana, pembiayaan, akses pasar dan kebijakan pendukung; dan (6) memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan Internasional.

Tujuan pembangunan pertanian Indonesia tahun 2005-2009 (Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi IV DPR-RI, 25 Nopember 2004), yaitu: (1) menumbuhkembangkan usaha pertanian di perdesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi perdesaan, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) menumbuhkan industri hulu, hilir dan penunjang dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (3) memanfaatkan sumber daya pertanian secara optimal melalui pemanfaatan teknologi yang tepat sehingga kapasitas sumberdaya pertanian dapat dilestarikan dan ditingkatkan; (4) membangun kelembagaan pertanian yang kokoh dan mandiri; dan (5) meningkatkan kontribusi sektor pertanian dalam pemasukan devisa.

Kilas balik tentang pembangunan pertanian, di era Orde Baru, sektor pertanian diposisikan hanya sebagai “pendukung” sektor lain, bukan sebagai “mesin penggerak” pertumbuhan perekonomian nasional. Sebagai sektor pendukung, sektor pertanian diposisikan sebagai: (1) pemasok ba han kebutuhan pangan dan bahan baku industri murah; (2) pengendali stabilitas harga; (3) pemasok tenaga kerja murah; dan (4) dianggap hanya berorientasi pada peningkatan produksi semata, sehingga tidak tanggap terhadap kondisi dan perubahan pasar dan keragamannya semata-mata ter gantung pada teknologi dan alam. Pola pikir seperti ini menganggap bahwa perekonomian makro maupun sektor riil lainnya tidak terkait erat dengan keragaan sektor pertanian. Hal ini, menyebabkan melemahnya kemampuan pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi.

Pasca tercapainya swasembada beras 1984, tampaknya Presiden Soeharto terlena oleh bujuk rayu Prof. Dr. B.J. Habibie untuk melupakan tahapan pelita yang disusun secara sistematis dan terencana bagus untuk beralih mengembangkan industri teknologi tinggi, maka perhatian terhadap pertanian mulai mengendur. Hasilnya Indonesia mulai mengimpor beras dan berbagai produk pangan lainnya. Pertanian Indonesia pun mulai mengalami kemunduran kalau tidak ingin disebut mati suri.