Memaknai Galungan dan Kuningan

Foto Kiri:  Drs. I Made Karda, M.Si. (Bersama Istri dan Cucu), Dosen Agama Hindu & Etika Agama serta Pembina FPMHD UNUD. Foto Kanan: Ni Kadek Marita Dewi, Sekjen FPMHD UNUD

 

   Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan dalam kalender Bali. Sedangkan Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Di tahun 2017, Hari raya Galungan  jatuh pada tanggal 5 April sedangkan Kuningan jatuh pada tanggal 15 April. Namun, rangkaiannya sudah dapat dirasakan dari Tumpek Wariga hingga nanti Hari Pegat Wakan.

Mayoritas umat Hindu tentunya menjalani rangkaian ini sesuai dengan tradisi yang ada. Namun, bagimana kita dapat menggali serta memaknai rangkaian hari raya yang jatuh setiap enam bulan sekali ini?

Kemenangan Dharma dan Turunnya Leluhur

Ditemui di kediamannya di Jalan Pulau Misol Denpasar, Drs. I Made Karda, M.Si. yang merupakan pengajar di Universitas Udayana pada mata kuliah Agama Hindu dan Etika Agama, berbagi mengenai pemaknaan Galungan dan Kuningan.

Menurut beliau dalam memaknai Galungan, dapat dibagi dalam tattwa, susila dan upakara, yaitu dari mempelajari filsafat hingga pelaksanaan rangakaian upacaranya. Namun, beliau menekankan di saat hari raya Galungan, kita  lebih fokus pada pelaksanaan maupun pembuatan upakaranya, di mana rangkaian Galungan ini, kita diberi kesempatan untuk melaksanan dengan aksi nyata kemenangan dari melawan adharma itu sendiri. “Memaknai Galungan menurut saya adalah berkifir, berkata, serta berbuat yang positif dimana kita mengimplementasikannya pada kehidupan sehari-hari sehingga saya dan keluarga dapat merasa lebih ceria, lebih bahagia, serta ringan dalam melaksanakan aktifitas-aktifitas agama”. “Galungan itu adalah saat dimana kita memahami agama baik teori maupun prakteknya” imbuhnya. Adapun adharma yang dimaksud adalah gangguan-gangguan yang hadir saat kita melaksanaan ajaran Dharma, termasuk yang ada dalam diri yang disebut Sad Ripu. Jika kita dapat menanga melawan Sad Ripu atau diri sendiri, lebih besar maknanya daripada kita menang dengan musuh dalam perang. “Sedangkan saat Kuningan, kita memaknai dan merayakannya dengan meyakini bahwa para leluhur kita telah hadir saat itu dan kita dapat menyambutnya dengan tapa brata serta introspeksi diri atau mulat sarira”  ungkap pembina di FPMHD UNUD ini.

Selaras dengan Pak Karda, Ni Kadek Marita Dewi memaknai rangkaian hari raya Galungan sebagai masa kita melawan adharma atau segala keburukan yang ada baik di dunia maupun di dalam diri hingga mencapai dharma atau kedamaian yang sejati, jadi pada hari raya Galungan kita merayakan kemenangan dharma melawan adharma itu sendiri, dan pada keesokan harinya atau sehari setelah Galungan yaitu “manis Galungan” kita menerima buah/buah manis atau hasil-hasil dari kemenangan dharma. Sekjen FPMHD UNUD ini menambahkan bahwa pada saat Kuningan, ia percaya bahwa leluhur atau Sang Hyang Pitara turun ke bumi untuk menerima persembahan suci kita, dan pada siang harinya beliau kembali ke stana-Nya. Sehingga biasanya pada hari raya Kuningan kita melakukan persembahyangan lebih pagi dari hari raya Galungan/ hari-hari biasanya.

 

Sebagai seorang mahasiswa, Marita mengungkapkan bahwa ada perbedaan bagaiama ia memaknai Galungan da Kuningan daripada saat masih menjadi siswa. “Selain pemikiran yang lebih terbuka juga karena rutinitas yang sedikit berubah, karena selama menjadi mahasiswa saya tidak tinggal di rumah bersama keluarga, jadi ada beberapa rangkaian yang saya lakukan tidak di rumah, melainkan di sekretariat FPMHD-Unud yang saya sering sebut “Forum” dan saya anggap sebagai rumah kedua saya, di forum tentu semua dilakukan bersama, mulai dari persembahyangan bersama pada rangkaian Sugihan Jawa atau Sugihan Bali, kemudian menyiapkan alat persembahyangan, membuat penjor sampai membersihkan forum supaya di hari raya Galungan keadaannya nyaman” jelasnya.

 

Keliru dalam Memaknai

 

Walaupun masyarakat Hindu telah melaksanakan dan memaknai Galungan dengan cara gaya dan kemampuannya masing-masing, Pak Karda masih melihat ada kekeliruan dalam melaksanakan maupun memaknai Galungan serta Kuningan ini. “Salah satunya adalah saat orang-orang tidak melaksanakan apa yang patut dilaksanakan pada hari tersebut, seperti tidak sembahyang dan malah melakukan kegiatan lain yang tidak berhubungan di saat hari Galungan dan Kuningan” ungkapnya. Ia  melanjutkan ketika kekompakan serta kebersamaan yang mulai berkurang dalam pelaksanaan hari Galungan, “Walaupun masyarakat menanam sendiri, membuat sendiri, atau bahkan hanya merangkai, menurut saya itu bukan penyimpangan, yang penting kebersamaan saat pelaksanaannya”.  Seperti halnya penjor, beliau merasa masyarakat masih mampu dan mau untuk melanjutkan serta menjalankan tradisi ini dengan baik dan benar. “Minimal di lingkungan desa saya, masyarakat masih rutin membuat penjor, yang penting niat yang sungguh-sungguh serta menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing dan tentunya mengerti arti penting penjor itu sendiri.”

Lain halnya dengan Marita, mahasiswa jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian ini merasa masih banyak kekeliruan dalam memaknai rangkaian Galungan maupun Kuningan, terutama rangkaian Galungan. “Contohnya pada saat penampahan sebenarnya kalau dalam buku agama atau kitab suci, pada saat itu kita melawan sad ripu/enam musuh dalam diri/adharma yang ada dalam diri yang dilakukan dengan simbol memotong/menyembelih hewan seperti ayam,bebek, dan babi, namun banyak yang sudah memotong atau menyembelih hewan pada Senin malam harinya (satu hari sebelum penampahan) dan pada saat penampahaan (hari Selasa) hanya tinggal memasaknya saja dengan alasan untuk mengefisiensikan waktu” ujarnya. Menurutnya saat penampahan juga kita sebaiknya memasang atau mendirikan penjor tetapi masih banyak umat yang mendirikan penjor pada dua atau tiga hari sebelum perayaan Galungan dengan alasan waktu yang terlalu mepet.

 

Sembahyang Bersama Hingga Seminar

 

Untuk para civitas akademika Universitas Udayana, Pak Karda berharap agar di hari raya Galungan serta Kuningan tetap ingat akan swadharma menjadi umat beragama sesuai dengan kemampuan, minimal bersembahyang dan membaca sastra suci. “Kedepannya seluruh umat Hindu di Universitas Udayana dapat melakukan persembahyangan bersama di tempat suci yang ada di Universitas Udayana itu sendiri. Terlebih jika nanti dapat dilaksanakan seminar kecil yang dihadiri oleh perwakilan setiap lembaga yang ada di Unversitas Udayana dalam rangkaian menyambut hari raya Galungan” imbuhnya.

Sedangkan Marita berharap para mahasiswa dapat lebih memaknai perayaan hari raya Galungan dan Kuningan agar kemenangan dharma benar-benar dirasakan, dalam melaksanakannya pun tidak harus mewah yang terpenting adalah makna dari perayaan itu benar-benar dirasakan. ”Harapan saya agar semua umat di manapun berada dapat merayakannya dengan tertib, tidak mengenal kedudukan, fisik, biologis maupun ekonomi seseorang tersebut” tutur mahaiswi angkatan 2014 ini. Sebagai mahasiswi dan anggota FPMHD, saat Kuningan ia dan anggota lain biasanya ngayah di Pura Sakenan bersama penduduk sekitar maupun organisasi-organisasi kepemudaan yang bernafaskan hindu juga. “Saya berharap kedepannya FPMHD-Unud bisa menjadi wadah untuk melakukan persembahyangan bersama khususnya bagi mahasiswa Hindu Unud yang merantau atau tidak berkesempatana merayakan Galungan dan Kuningan bersama keluarga, agar setidaknya seluruh mahasiswa Hindu Unud dapat merasakan esensi/kesan dari hari Raya Galungan maupun Kuningan” tutupnya. (narabhumi)