Merawat dan Mempersatukan Perbedaan Indonesia

Tidak terasa, Indonesia telah berusia 71 tahun tanggal 17 Agustus 2016 ini. Apabila diibaratkan dengan manusia, usia ini tentu sudah sepuh. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan usia negara, angka itu tidak terlalu tua, apalagi dikaitkan dengan kondisi sosial negara Indonesia yang demikian beragam. Dibandingkan dengan Singapura, meskipun umurnya lebih muda dari Indonesia, negara itu telah demikian makmur. Dapat dikatakan, Singapura yang menyandang predikat negara dengan pendapatan tertinggi di dunia, jauh dari tingkat kemakmuran Indonesia. Singapura yang bentuknya negara kepulauan itu beruntung karena mempunyai mayoritas budaya, yaitu Tionghoa. Disamping itu, penduduk Singapura hanya sekitar 3 juta jiwa. Memiliki satu budaya dengan jumlah penduduk yang tidak banyak, relatif mudah untuk mengelola negara.
Pertanyaannya kemudian, apakah negara majemuk itu susah mengaturnya dan dengan demikian juga susah makmur?
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Gusti Putu Bagus Suka Arjawa memilik pandangan tersendiri terhadap persoalan ini. Ia mengungkapkan, untuk beberapa negara harus dikatakan ya, termasuk juga Indonesia. Kemajemukan sebuah negara harus berhadapan dengan nilai-nilai yang tentu juga banyak. Di negara manapun, nilai yang bergabung sambung-menyambung di dalam satu budaya, akan menjadi ideologi. “Dan yang terakhir ini sering kali masuk ke ranah politik. Begitu politik itu bercampur dengan individu yang mempunyai nafsu kekuasaan, maka ideologi itu akan saling bertabrakan dan akhirnya munculah konflik,” ungkapnya. Ia juga menambahkan, dalam keadaan ekstrim, ke dalam ini bisa menjadi perang saudara dan keluar juga bisa menjadi perang antar negara. Tidak akan mungkin negara yang mempunyai konflik seperti itu akan mampu mengelola negara dengan baik. Ketidakmampuan negara membangun dengan baik, berarti kemakmuran tidak akan mungkin tercapai dan itu hanya menjadi cita-cita belaka.
Paling kurang Indonesia terdiri dari 250 budaya. Artinya inilah yang akan menghasilkan nilai yang cocok untuk kelompok budaya itu. Nilai atau keyakinan atau cara pandang yang dianggap baik, merupakan hasil dari kristalisasi dari berbagai unsur kehidupan sosial dimana masyarakat itu berada. Artinya ada kebiasaan-kebiasaan yang menjadi patokan berperilaku untuk mencapai ketertiban sosial dan tujuan hidup pada lingkungan budaya tertentu. Dan kebiasaan-kebiasaan ini akan sangat ditentukan oleh bentuk geografis, kondisi alam dan kekuatan masyarakat dalam menghadapi lingkungannya. Ia memberikan contoh, Madura mempunyai budaya Carok (salah satu jenis bela diri) yang sesungguhnya mempunyai nilai harga diri di hadapan orang lain. Namun masyarkat dengan budaya lain justru menekankan pencak silat sebagai budaya karena di dalamnya tidak saja menjadi nilai harga diri tetapi sekaligus juga memperlihatkan kemampuan untuk menciptakan nilai seni disaat menghadapi ancaman. Sedangkan Bali mempunyai cara tersendiri menghadapi tantangan, yaitu dengan konsepsi jengah, yang di dalamnya mengandung nilai harga diri juga. Akan tetapi, harus mempunyai kemampuan untuk menahan diri dalam satu-satuan waktu dan kemudian dengan kekuatan dan kemampuan diri yang maksimal, baik dalam berusaha, belajar, bekerja keras dan mengendalikan diri, mampu memenangkan pertarungan untuk mengembalikan harga diri. Semuanya itu sangat tergantung dari tantangan sosial yang ada. Madura berperilaku demikian, bisa jadi disebabkan oleh geografis yang kering, berpenduduk padat dan tidak memiliki sumber air yang tetap. Geografis pulau ini tidak didukung oleh gunung tinggi seperti yang ada di daerah lain. Gunung adalah penyimpan air di bumi yang kemudian dapat dimanfaatkan manusia dalam bentuk sumber air.
Meski demikian, justru dengan keadaan geografis seperti itu masing-masing budaya dan kelompok masyarakat Indonesia mempunyai nilai yang hampir sama, yaitu kerja sama dan saling ketergantungan antara satu dengan yang lain. Di Jawa disebut dengan gotong-royong, di Bali disebut dengan ngayah, yang semua intinya adalah saling bantu-membantu satu dengan yang lain, entah dengan orang atau kelompok. Masyarakat Bali malah melakukannya dengan konteks yang lebih luas, yaitu adanya hidup keselarasan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, yang disebut dengan Tri Hita Karana. Gotong-royong dengan berbagai bentuknya di setiap budaya Indonesia, sesungguhnya merupakan cerminan kerendahan hati dan pengakuan masyarakat terhadap keberasaran alam. Namun, Indonesia harus bersyukur oleh sejarah, oleh hasil pemikiran dari leluhur dan pendiri negara yang telah memformulasikan dua mantera sakti pemersatu bangsa yaitu motto Bhinneka Tunggal Ika yang terpatri dalam Prasasti Sutasoma hasil karya Mpu Tantular, lebih dari 500 tahun yang lalu dan Pancasila hasil pemikiran pendiri negara, Soekarno. Dua mantra sakti itulah yang mempersatukan bangsa dan negara.
Motto Bhinneka Tunggal Ika adalah fakta dan pesan yang menyejarah, bersifat klasik dan amat luhur demi kelestarian bangsa. Sejak berabad lalu Nusantara sudah disadari sebagai bangsa yang majemuk, karena itu harus diterima dalam keadaan apa adanya. Penentangan terhadap kemajemukan ini akan memberikan kemalangan bagi bangsa dan negara. Dengan demikian, generasi sekarang harus memikirkan hal itu agar tidak menjadi korban konflik dan tekanan dari pengingkaran terhadap kemajemukan ini. Sedangkan Pancasila, tidak lain merupakan modernisasi dan pengembangan dari Bhineka Tunggal Ika sesuai dengan konteks abad ke-20, bahkan sampai abad ke -21 ini. Posisi pembaruannya adalah lima sila yang dipampang dalam lambing negara Garuda Pancasila itu merupakan terjemahan dari Bhineka Tunggal Ika. Misalnya, sila ketiga jelas menyerukan persatuan Indonesia di bawah lindungan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Generasi Orde Baru mencoba menerjemahkan lagi ke dalam bentuk butir-butir Pancasila. Sosialisasi butir-butir ini sesungguhnya sempat dilakukan melalui penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Akan tetapi, praktiknya yang lebih menonjolkan pada politik kekuasaan Orde Baru, membuat pemahaman di masyarakat nemjadi kurang. Setiap pertemuan dalam sosialisasi ini, bahkan seluruh pelosok Indonesia, selalu mendengungkana keajegan dan pembenaran terhadap kekuasaan Orde Baru.
Nusantara di masa lalu, dengan Indonesia di masa kini, tidak mempunyai perubahan signifikan dari sisi identitas. Keragaman itu masih ada, bahkan mungkin telah semakin banyak karena globalaisasi memberikan warna baru kepada Indonesia. Ada perdagangan yang memungkinkan warga asing tinggal dan bahkan berkeluarga di Indonesia. Pulau yang sebelumnya tidak demikian pupuler berabad lalu, kini malah menjadi pulau turis, seperti Bali atau kepulauan Wakatobi. Juga Segara Anak dan lain sebagainya. Papua kini dikenal sebagai obyek penggalian tambang yang besar di Indonesia dan Jawa adalah pulau terpadat dengan berbagai aktivitas budaya dan suku. Jakarta sebagai ibukota negara sangat kental dengan berbagai suku bangsanya. Dengan demikian, di abad ke-21 ini, keragaman itu tidak saja telah menjadi warna Indonesia seperti sedia kala, tetapi telah muncul kantong-kantong keragaman baru di berbagai kota dan pulau seperti yang diungkapkan diatas. Karena keragaman itu ada di kota, seharusnya dapat dipelajari dengan seksama masing-masing pola kulturnya.
Ia mengungkapkan, mempelajari ke-Idonesia-an, seharusnya jauh lebih dekat secara geografis sekarang dibanding dengan masa lalu, yang dengan begitu seharusnya juga menjadi alat untuk memberikan kesadaran atas kemajemukan tersebut. Masyarakat perkotaan adalah mereka yang lebih rasional dan memiliki pengetahuan lebih tinggi. Merekalah yang seharusnya memberikan apresiasi terhadap berbagai keragaman yang ada sehingga dapat memosisikannya pada konteks yang benar.
Ketika sekarang Indonesia berusia 71 tahun, tidak bisa lain kita harus memahami bahwa keragaman itu merupakan sebuah keniscayaan yang memang sudah ada terhadap Indonesia: tidak bisa lain. Itulah yang harus disadari oleh masyarakat Indonesia sehingga apapun yang kemudian menjadikannya goyah, tidak boleh terjadi. Tantangan globalisasi yang sekarang mendera Indonesia hanya bisa diatasi oleh kenyataan tentang keragaman tersebut sehingga berbagai bentuk yang mencoba menyusupi dari luar tidak akan bisa mencapai tujuannya. Bahwa berbagai ledakan bom telah terjadi di Indonesia, tidak bisa lain merupakan kegagalan modern terhadap fakta keindonesiaan tersebut. Mereka terlalu mudah percaya dengan apa yang disodorkan oleh pihak luar dan terlalu mudah lupa dengan sejarah. Padahal setengah millennium telah dipesankan kalau kita hidup di dalam perbedaan tersebut.
Tidak mungkin menyamakan perbedaan itu ke dalam monolitas. Nilai yang sudah ada sejak setengah millennium, kemeudian dikomposisikan dalam 250 suku bangsa dan bahasa, merupakan kemustahilan untuk membuatnya sama, betapapun revolusi coba dilakukan. Revolusi mempunyai kelemahan, yakni akan terjadi apabila disatukan oleh nasib kekuatan tirani dalam jangka panjang. Sedangkan Indonesia, meski tirani mungkin pernah ada, tetapi secara sosial lapisan budaya yang berhadapan langsung dengan alam itu, memungkinkan adanya kesadaran sosial bahwa selalu ada yang lebih kuat dari tirani, yaitu alam, kekuatan semesta dan Tuhan. Disitulah kemudian perasaan bersama itu tumbuh, meskipun kemudian terkelompok ke dalam berbagai budaya. Apa artinya kelompok itu apabila perasaan kebersamaan itu kemudian mampu menembus sekat-sekat kelompok. Pemaksaan untuk membuyarkan kelompok, merasakan diri menang diatas yang lain, tidak akan mungkin terjadi di Indonesia.
“Di tengah kita merayakan usia 71 tahun Republik Indonesia, ada tiga instrument yang harus kita pelihara, renungkan dan kemudian kembangkan,” ungkap Suka Arjawa. Yang pertama adalah motto Bhineka Tunggal Ika. Inilah instrument yang harus memberikan kesadaran kepada kita, bahwa Indonesia itu majemuk. Kedua, adalah Pancasila. Instrumen ini merupakan gagasan modern untuk mengeratkan persatuan di dalam perbedaan di bawah lindungan Tuhan. Dan ketiga, adalah kearifan lokal. Dari kearifan inilah kita melihat persamaan-persamaan budaya di antara berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Selamat berulang tahun, semoga panjang umur Indonesia.(hana)