Penggunaan Satwa dalam Upacara Agama Hindu
Penggunaan hewan/satwa oleh umat Hindu, khususnya
umat Hindu di Bali sangat terkait dengan yadnya yang dilaksanakan
sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama. Jika ada anggapan bahwa
umat Hindu di Bali dalam pelaksanaan agama memati-mati (membunuh hewan),
sebenarnya ada dasar yang kuat mengapa hal itu dilakukan. Dalam
tulisan seri pertama ini dipaparkan beberapa sumber yang menguatkan
mengapa hewan digunakan sebaga sarana upakara.
Dalam lontar Agastya
Parwa, pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu, dikelompokkan menjadi lima
(dikenal dengan Panca Yadnya), terdiri atas Dewa Yadnya, Rsi Yadnya,
Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Butha Yadnya. Hampir semua upacara
yadnya yang dimaksud menggunakan unsur satwa/binatang atau hewan
sebagai salah satu kelengkapannya. Jumlah yang digunakan tergantung dari
tingkatan yadnya yang dilaksanakan. Di antara lima upacara yadnya
yang ada, upacara Bhuta Yadnya-lah yang paling lengkap menggunakan unsur
wewalungan (binatang atau hewan).
Bhuta Yadnya dalam kaitan dengan
pelaksanaan upacara berarti segala persembahan/pengorbanan yang
dilakukan secara seremonial melalui atau segala pelaksanaan upacara yang
berkaitan dengan pemeliharaan keserasian lingkungan buana agung dan
buana alit. Tingkatan upacara itu pun ada yang disebut alit, madya
maupun utama atau agung, sebagaimana pada yadnya lainnya.
Apapun
tingkat upacaranya, baik alit, madya, maupun agung, pelaksanaan
upacara Bhuta Yadnya mengandung makna yang sama yaitu pengorbanan suci
untuk keseimbangan/keharmonisan alam semesta. Hal ini dapat diketahui
dari kitab Atharvaveda XII.1.1, yang menyebutkan "Satyam Brhad Rtam
Ugradiksa Tapo Brahma Yajnah Prthivim Dharayanti, Sa No Bhutasya
Bhavyasasya Patni, Urum Lokam Prthiwi Nah Krnotu", artinya: kebenaran,
kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah,
pengabdian diri, tapa (pengekangan diri), pengetahuan persembahan
(yajna) yang menopang bumi. Bumi senantiasa melindungi kita. Semoga bumi
menyediakan ruangan yang luas untuk kita.
Yadnya yang dimaksudkan
sebagai penopang bumi, salah satunya, adalah Bhuta Yadnya. Yadnya itu
berfungsi dan bermakna bahwa melalui yadnya tersebut semua unsur alam
semesta akan terjaga keharmonisannya. Salah satu unsur penting dalam
Bhuta Yadnya khususnya upakara caru, adalah adanya unsur binatang atau
hewan (wewalungan). Dasar penggunaan binatang atau hewan dalam
pelaksanaan caru di Bali, dapat diketahui dari lontar Kramaning Caru,
lembar 1.b. Dalam lontar itu diuraikan, "nihan kramaning caru manut
nistamadya utama, lwirnya, sata brumbun sanunggal ...yan kwala ayam
brumbun, carukna nta, caru pangruwak, nga" [inilah tingkatan caru,
nista, madya utama menggunakan ayam brumbun satu ekor... apabila hanya
menggunakan ayam brumbun, penggunaannya sebagai caru pengruwak namanya].
Selain
itu, juga dapat diketahui dari kitab Manawadharmasastra V.42, yang
menentukan bahwa Tuhan menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan
upacara-upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi "eswarthesu
pacunhimsan weda, tattwarthawid dwijah, atmanam ca pacum caiwa ga,
mayatyutanam gatim", yang artinya: seorang yang mengetahui arti
sebenarnya dari weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan
tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu
masuk ke dalam keadaan yang sangat membahagiakan (Pudja, 1973: 293).
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa penggunaan
binatang atau hewan (wewalungan) dalam pelaksanaan upacara yadnya,
khususnya Bhuta Yadnya (caru), mengandung penyucian untuk keseimbangan
alam mikrokosmos dan makrokosmos.
Kambing selem (hitam) digunakan pada upacara Caru balik sumpah
Ajaran Hindu dalam Manawadharmasastra V.40 dengan jelas menguraikan bahwa "osadyah pasavo vriksastir, yancah paksinastatha, yajnyartham nidhanam praptah, prapnu vantyutsritih punah" yang berarti bahwa: tumbuh-tumbuhan semak-semak, pohon-pohonan, ternak, seperti burung-burung lainnya yang telah digunakan sebagai sarana upakara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang (Pudja, 1973: 292).
Penggunaan
satwa dalam upacara bukan berarti penyembelihan biasa. Penyembelihan
yang dilakukan untuk kepentingan upacara, umumnya didahului dengan
berbagai tahapan penyucian dengan mantra tertentu sesuai dengan jenis
satwa yang digunakan. Untuk satwa berkaki dua mantranya sebagai berikut:
Om
indah ta kita sang dwi pada, sakeng purwa desa sinangkan pamuliha,
menembah ta kita kita maring sanghyang Iswara, Ong sang namah lingganta,
wus samangkana pasangsarga kita ring sanghyang iswara, ayua ta kita tan
mengantitiaken katuturan sanghyang Dharma, tutur-tutur ayua lali,
inget-inget ayua lupa, nahan teka ring dalem kapatihan, yan kita dadi
jatma dadi ya ika wiku sakti, saguna kayanta aturakena ring ulun, apan
ulun umatukakna ri kita. Ong sang sadya ya namah.
Artinya :
Om
kau binatang yang berkaki dua, asalmu dari arah timur, di timurlah
tempatmu, pulanglah ke arah timur bersujudlah kepada sanghyang Iswara,
jangan sekali-sekali engkau melupakan ajaran sanghyang Dharma, semua
wejangannya jangan kau lupakan, ingat-ingatlah selalu, jangan sampai
lupa, apabila kau menjelma ke dunia, jadilah engkau wiku sakti, sesuai
hasil kerjamu serahkanlah kembali kepada-Ku, Om semoga semuanya menjadi
kenyataan atas anugrah-Nya.
Untuk satwa pada umumnya digunakan mantra sebagai berikut:
Om pasu pasa ya widmahe sire ceda ya dimahe, tanno jiwah pracodayat,
Artinya :
Om Hyang Widhi hamba menyembelih hewan ini semoga rohnya menjadi penyucian.
ahapan
penyucian inilah yang memberikan landasan terhadap penyembelihan hewan
untuk upacara. Hal itu bermakna sebagai penyucian terhadap dosa yang
dimiliki hewan tersebut supaya nantinya bisa bereinkarnasi menjadi
makhluk yang lebih baik, karena pengorbanannya itu diikutkan sebagai
salah satu sarana penyucian alam semesta. Dengan demikian, penggunaan
satwa sebagai sarana upacara yadnya juga mengandung makna pelestarian
plasma nutfah khususnya satwa.
Pelestarian jangan dimaknai sebagai
sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan. Sebab Tuhan menciptakan
tumbuhan dan satwa adalah untuk kelangsungan hidup manusia. Itulah
sebabnya manusia diberi kelebihan idep (pikiran), bisa memanfaatkan
tumbuhan yang hanya memiliki bayu, dan binatang yang memiliki sabda dan
bayu untuk dimanfaatkan secara bijak. Satwa yang langka sudah sehrusnya
dibudidayakan, jika populasinya cukup baru dimanfatkan. Jika
demikian, manusia tidak terkesan semena-mena terhadap alam, melainkan
selalu bijak, karena sadar alamlah yang memberi penghidupan.
(0) Comments