PERBAIKAN KEGAGALAN LERENG (REPARATION OF SLOPE FAILURES)

Kegagalan lereng sering terjadi pada ruas jalan, bukit atau pada tempat lain terutama pada musim hujan. Lereng akan kehilangan stabilitas karena kenaikan tekanan air pori akibat terjadi hujan atau gempa. Tetapi, sangat sering juga kestabilan lereng hilang karena kelalaian manusia seperti terjadi pada daerah galian, tambang pasir dan sebagainya. Untuk lereng yang curam dan dalam, diperlukan suatu teknik perkuatan yang aman.

Di Bali, banyak sekali kejadian kelongsoran lereng yang menimbulkan kerugian besar baik materil maupun korban jiwa. Kegagalan lereng yang terjadi sebagai misal kelongsoran lahan warga seluas satu hektar di desa Puhu Payangan  pada tahun 1995, kelongsoran lahan seluas 1,6 hektar di desa Singaperang Buahan pada tahun 1997. Pada tahun 1999 bencana longsor terjadi di desa Taro, Gianyar yang mengakibatkan 5 orang korban jiwa. Tahun 2006 pada jalur jalan Tajun Buleleng juga terjadi kelongsoran yang mengakibatkan korban jiwa. Kelongsoran lereng alam yang terjadi di Candikuning, juga mengakibatkan korban jiwa dan rumah serta menutupi jalan seperti terlihat pada Gambar 1.

Kegagalan geologi dan material tanah atau kegagalan geoteknik dapat dipilah dalam tiga komponen yaitu : mekanisme, properties dan analysis (Scott, 1987). Pertama, “mekanisme keruntuhan” harus dipelajari, misalnya mekanisme kegagalan pondasi jembatan, kegagalan lereng atau kegagalan lain yang disebabkan oleh hujan/banjir, gempa bumi dan sebagainya. Selanjutnya, ”properties” tanah harus dipelajari dan diteliti melalui tes lapangan dan laboratorium. Beban yang bekerja pada suatu konstruksi tidak boleh melampaui kekuatan bahan. Setelah kedua komponen diatas dipelajari dan diklasifikasikan maka langkah ketiga adalah melakukan “analysis” dengan memakai mekanisme dan properties tanah yang lebih baik.

Gambar 1. Kelongsoran Lereng di Candikuning, Bedugul, Bali (Photo Redana)

Metode penanganan kelongsoran lereng sangat banyak ragamnya dan pemilihan dari teknik yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi tanah, dimensi, dan kebutuhan perkuatan yang diperlukan. Konstruksi dinding penahan tanah yang umum digunakan adalah dari tumpukan batu. Konstruksi ini kurang kuat terutama untuk tembok yang tinggi, karena tembok tumpukan batu semacam ini hanya memperhitungkan berat sendiri batu untuk melawan gaya horizontal, maka dimensi lebar dari dinding akan sangat besar (Redana, 2003).

Alternatif lain yang dapat dipakai adalah dinding penahan dari beton dengan perkuatan angker. Pada intinya, tembok berfungsi sebagai facing ditahan dengan angker baja atau beton. Untuk lereng yang telah mengalami longsor, pembangunan dari tembok penahan dengan perkuatan  angker ini menjadi lebih mudah. Pekerjaan dapat dilakukan secara berlapis, angker dipasang  kemudian di urug atau ditimbun dan dipadatkan. Pilihan lain dapat dilakukan dengan memakai geosyntetik (Tatsuoka dkk, 2001)