MENINGKATKAN PERAN AKTIF UNIVERSITAS UDAYANA UNTUK MENGATASI KEMANDEGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI BALI

Perkembangan pembangunan Bali telah berhasil menempatkan Bali sebagai salah satu provinsi termakmur di Indonesia (Mubyarto, 1992 dalam Bagus dkk, 1992). Sektor pariwisata yang merupakan salah satu sektor prioritas dalam kerangka kebijakan pembangunan Bali, selain pertanian dan industri kecil, telah diakui sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Bali tumbuh sangat pesat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat transisi/ pasca tradisional dan tampaknya akan terus berlanjut menuju masyarakat industri/nonagraris (Bagus dkk, 1988). Beberapa indikator ekonomi makro memberikan indikasi itu, seperti: sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB dan pangsa angkatan kerja pertanian (PAKP).

Selama periode 1971-1995, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB juga mengalami penurunan. Selama 1971-1995, PDRB Bali telah meningkat dari Rp 749,5 M menjadi Rp 6.602,4 M, tetapi sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB menurun dari 59,3 menjadi 20,2 persen. Sebaliknya, sektor manufaktur dan jasa telah meningkat berturut-turut dari 8,9 menjadi 14,6 persen dan dari 31,8 menjadi 65,2 persen. Kondisi seperti itu bertahan sampai akhir-akhir ini (Tabel 1).

Tabel 1. PDRB Bali tahun 1971, 1995, dan 2007 atas dasar angka konstan

Sektor 1971 1995 2009

Milyar

Rp

%

Milyar

Rp

%

Milyar

Rp

%
A (Pertanian) 444,6 59,3 1.337,7 20,2 5.362,39 20.45
M (Manufaktur) 66,6 8,9 962,5 14,6 3.996,08 15.24
S (Jasa-jasa) 238,3 31,8 4.304,2 65,2 16.869,81 64.32
Jumlah 749,5 100,0 6604,4 100,0 26.228,28 100,00

Sumber: Bendesa (1997) untuk angka tahun 1971 dan 1995: Bali dalam Angka (2010) untuk angka 2009 (angka sangat sementara, dianalisis)

Dalam kurun waktu yang sama, walaupun secara absolut angkatan kerja sektor pertanian di Bali meningkat dari 466,2 ribu orang menjadi 667,6 ribu orang, PAKP menurun dari 67,5% menjadi 41,6%. Selanjutnya, pada tahun 2000 PAKP turun lagi menjadi 32,92%. Pada kurun waktu hampir 10 tahun terakhir  yaitu periode tahun 2000-2009 PAKP relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan periode-periode sebelumnya tetapi peningkatan angkatan kerja sektor pertanian secara absolute terus berlanjut dari 667,9 ribu orang menjadi 712,4 ribu orang tetapi (Tabel 2). Peningkatan angkatan kerja pertanian secara absolut di daerah seperti Bali, dengan luas lahan terus menyusut akan menyebabkan rata-rata sumber daya lahan yang dikuasai petani mengalami penurunan yang signifikan.

Tabel 2. Pertumbuhan dan Pangsa Tenaga Kerja Pertanian dan Non-Pertanian di Bali Tahun 1971 – 1995

Sektor Penduduk Bekerja (000 Orang)

1971

1980

1995

2000

2009

A (Pertanian)

466,2

(67,5)

480,7

(50,74)

667,9

(41,6)

563,9

(32.92)

712,44

(34,6)

M (Manufaktur)

43,5

(10,3)

152,4

(16,09)

337,0

(21,0)

389,7

(22.75)

443.06

(21,5)

S (Jasa-jasa)

153,1

(22,2)

314,2

(33,17)

599,1

(37,4)

759,4

(44.33)

901.62

(43,8)

Keterangan: Angka dalam kurung merupakan persen.
Sumber      : Bendesa (1997) untuk angka tahun 1971; Erawan (1987) untuk angka tahun 1980;BPS (2001) untuk angka tahun 2000;                        Bali dalam Angka (2010) untuk angka tahun 2009 (dianalisis)

Berbagai aktivitas ekonomi yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pertanian menyebabkan tekanan terhadap sektor pertanian di Bali. Lahan-lahan pertanian dengan cepat beralih fungsi untuk kegiatan ekonomi lain yang berkaitan dengan pariwisata. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, dalam kurun waktu lima tahun (2000-2005), total luas lahan sawah di Propinsi Bali mengalami penurunan seluas 4.566 hektar yaitu dari dari 85.776 hektar (2000) menjadi 81.210 hektar (2005). Itu berarti kecepatan penurunannya meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan periode 1980-1989. Selama kurun waktu tersebut, lahan sawah di Propinsi ini telah beralih fungsi rata-rata sekitar 913,20 hektar (1,09%) per tahun.

Selain “merambah” sumber daya lahan, perkembangan pariwisata juga telah “menyedot” sumber daya manusia pertanian. Paling tidak mulai pertengahan dekade 80-an, sektor pertanian dianggap sebagai sektor yang tidak prospektif, kotor, tidak bergengsi, dan sekarang dalam kondisi yang tersisihkan sehingga tidak ada anak muda yang menggantikan ayahnya menjadi petani. Bahkan, para petani sendiri yang tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Selain itu, sarjana lulusan fakultas di lingkungan agrokompleks tidak ada yang mau “bertani” tetapi lebih memilih pekerjaan di luar kompetensinya, seperti: asuransi, perbankan, salesman, dan jasa lainnya. 

Terkurasnya sumber daya pertanian pada gilirannya mempengaruhi keberadaan kelembagaan sosial di Bali. Subak, yang merupakan organisasi sosial-religius yang mengatur sistem pengairan sawah, sulit dipertahankan keberadaannya di kawasan pariwisata (Bappeda Propinsi Bali, 2001). Bahkan, kegiatan gotong-royong di subak-subak yang berada di daerah pariwisata sudah semakin sulit dijumpai saat ini (Pemayun, 2003). Hal itu, diperparah lagi oleh gejala semakin kompleksnya orientasi masyarakat di Bali akibat perkembangan pariwisata yang pada gilirannya mengakibatkan perubahan dalam hubungan-hubungan sosial serta eksistensi lembaga lembaga tradisional (Geriya, 1982). 

Perkembangan yang demikian oleh Antara (2009) disinyalir sebagai tanda-tanda pertanian “bangkrut”. Hal itu dicirikan oleh impor produk pangan semakin besar, investasi di bidang pertanian rendah, ketimpangan harga-harga input output pertanian, kurangnya dukungan teknologi industri, lemahnya integrasi vertikal dalam sistem komoditas, lemahnya akses petani ke lembaga keuangan, lemahnya akses pasar, kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada petani dan sempitnya luas garapan petani. 

Berkembangnya struktur ekonomi yang didorong oleh perkembangan pariwisata memiliki dimensi Rwa Bhineda. Falsafah tersebut memberikan kita pemahaman bahwa positif-negatif, baik-buruk, dan kondisi dikotomis lainnya selalu ada, bahkan sering pada dimensi ruang dan waktu yang sama. Perkembangan pariwisata di Bali secara faktual tidak hanya memberikan dampak negatif, tetapi juga menciptakan peluang untuk mengembangkan pertanian. Kemajuan ekonomi yang didorong oleh perkembangan pariwisata telah menciptakan permintaan produk pertanian yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan masyarakat dan oleh kegiatan kepariwisataan itu sendiri. Dari sudut pandang Input-output model, sektor pariwisata mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sektor pertanian (Antara, 2000). Ini menyiratkan proses produksi jasa kepariwisataan membutuhkan input dari output proses produksi sektor pertanian. Persoalan yang kemudian timbul adalah sejauh mana sektor pertanian bisa merespon meningkatnya kebutuhan input pada sektor pariwisata untuk mempertahankan dan mengembangkan sektor pertanian di Bali.

Survei yang komprehensif mengenai permintaan dari produksi komoditas tanaman pangan di Bali menunjukkan, bahwa kegiatan inti kepariwisataan yaitu hotel dan restoran di Bali memberikan kontribusi pada kisaran 1,19-9,03% terhadap permintaan untuk komoditas tanaman pangan yaitu berturut-turut sebesar 1,19% untuk padi dan palawija, 9,03 untuk buahbuahan, 3,35% untuk sayur-sayuran, dan 5,85% untuk bunga-bungaan (Tabel 3). Selanjutnya, dapat dilihat bahwa peluang pengembangan komoditas tanaman pangan, dari segi bisnis masih menjanjikan,seperti ditunjukkan oleh kesenjangan antara produksi dan permintaan. Selain komoditas padi dan palawija, yang merupakan komoditas tradisional dan telah menjadi komoditas politis sehingga menjadi kurang menarik dari segi bisnis, sangat banyak komoditas yang berprospek untuk dikelola menjadi bisnis menguntungkan.Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan bahwa sangat banyak komoditas hortikultura yang sudah teradaptasi secara agroklimat di Bali yang jumlah produksinya tidak mampu memenuhi jumlah permintaan yaitu berturut-turut 12 dari 18 jenis buah-buahan, 8 dari 12 jenis sayur-sayuran, dan semua jenis bunga

Tabel 3. Permintaan dan Produksi Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Di Bali Tahun 2005/2006

No KOMODITI Permintaan (ton)

Produksi

(ton)

Proporsi

Permintaan

H dan R

(%)

Kesenjangan

Produksi-

Permintaan

(ton)

Masyarakat

Hotel dan

Restauran

Jumlah
A PADI & PALAWIJA            
1 Beras 621.174 2.914 624.087 519.847 0,47 -104.240
2 Jagung 24.890 548 25.438 76.399 2,15 50.961
3 Kacang Tanah 16.593 704 17.296 18.953 4,07 1.657
4 Kedelai 625.270 27 625.298 10.162 0,00 -615.136
5 Ubi Kayu 28.412 57 28.470 163.018 0,20 134.548
6 Ubi Jalar 38.310 83 38.393 90.592 0,22 52.199
  Rata-rata         1,19  
B BUAH-BUAHAN            
7 Mangga 29.210 765 29.976 44.128 2,55 14.152
8 Manggis 5.795 612 6.407 2.785 9,55 -3.622
9 Salak 29.312 1.644 30.956 37.572 5,31 6.616
10 Jeruk Kintamani 43.857 2.465 46.322 81.725 5,32 35.403
11 Anggur 15.342 0 15.343 14.189 0.00 -1.154
12 Semangka 15.462 2.811 18.274 12.760 15.38 -5.514
13 Rambutan 19.726 577 20.303 15.139 2,84 -5.164
14 Alpukat 3.960 690 4.651 1.300 14,84 -3.351
15 Pisang 182.201 997 183.198 140.227 0,54 -42.971
16 Pepaya 14.166 1.547 15.713 11.667 9,84 -4.046
17 Durian 6.009 1 6.010 6.231 0,01 221
18 Strawberry 1.502 1.096 2.598   42,19 -2.598
  Rata-rata         9,03  
C SAYUR-SAYURAN            
19 Kubis 29.831 517 30.348 43.302 1,70 12.954
20 Kentang 12.322 1.079 13.400 7.133 8,05 -6.267
21 Wortel 9.329 781 10.110 11.105 7,72 995
22 Tomat 22.031 1.269 23.300 25.269 5,45 1.969
23 Cabe Merah 20.738 2.135 22.873 41.151 9,34 18.278
24 Bawang Merah 32.636 768 33.405 11.160 2,30 -22.245
25 Bawang Putih 24.844 1.316 26.160 1.171 5,03 -24.989
26 Kacang Panjang 33.005 600 33.605 10.453 1,78 -23.152
27 Sawi Hijau 37.323 828 38.152 35.904 2,17 -2.248
28 Buncis 13.754 560 14.314 8.850 3,91 -5.464
29 Mentimun 17.379 927 18.305 9.502 5,06 -8.803
30 Labu Siam 9.447 207 9.654   2,14 -9.654
  Rata-rata         3,35  
C BUNGA-BUNGAAN            
31 Anggrek (Ptg) 3.667 425 4.092 1.160 10,40 -2.933
32 Gumitir 14.906 6 14.911   0,04 -14.911
33 Teratai 5.903 461 6.364   7,24 -6.364
  Rata-rata         5,89  

Sumber: Diolah dari Hasil Survey Kerjasama antara Distan Tanaman Pangan Prov. Bali dan Fak. Ekonomi Univ. Udayana Tahun 2005/2006

Kesenjangan jumlah permintaan dan produksi berbagai komoditas pertanian mencerminkan bahwa perkembangan pariwisata membuka peluang untuk pengembangan pertanian. Pangsa pasar high-end terbentuk dengan meningkatnya kunjungan wisatawan dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Pangsa pasar ini membutuhkan produk bermutu dan aman dikonsumsi. Namun, karena kondisi transportasi dan komunikasi antardaerah dan dampak globalisasi ekonomi, peluang pasar yang diciptakan oleh perkembangan pariwisata di Bali tampaknya lebih direspon oleh petani luar Bali, atau bahkan petani luar negeri.

Dalam situasi paradoks seperti diuraikan di atas, banyak orang merasakan bahwa pertanian di Bali semakin merosot, dan bahkan diprediksi akan menghilang. Sementara itu, banyak orang khawatir bahwa kepariwisataan di Bali yang bercirikan budaya akan kehilangan keunikannya tanpa didukung pertanian yang oleh para budayawan dinyatakan dengan tegas bahwa budaya Bali bersumber dari pertanian. Tidakkah ini merupakan
sebuah ironi? Nilai kepentingan pertanian yang demikian besar sebagai pondasi kepariwisataan merosot di tengah peluang-peluang yang diciptakan oleh kepariwisataan itu sendiri.

Harus disadari bahwa memanfaatkan suatu peluang sebesar apa pun akan berhadapan dengan tantangan yang bersifat eksternal maupun kelemahan yang bersifat interna. Namun, dengan keterampilan yang dimiliki petani Bali yang termasyur di Nusantara, peluang besar itu akan dapat direalisasikan.