PERANG MELAWAN KORUPSI : KAJIAN YURIDIS RUANG GERAK LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)

Indonesia negara kaya, tetapi karena korupsi terus merajalela, kesejahteraan yang mestinya dapat dinikmati oleh rakyat banyak semakin jauh dari harapan. Misalnya, saat ini jumlah orang miskin di Indonesia sangat memperihatinkan. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin secara riil di Indonesia mencapai 129,6 juta orang, atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk. (namun ukuran kemiskinan Indonesia berbeda). Kondisi ini terjadi menurut hemat saya disebabkan suburnya korupsi di republik ini. 

Tabel di bawah ini menunjukan bahwa, peringkat korupsi indonesia dari 145 negara di dunia skor Indonesia yang awalnya 2,0. Walaupun data terakhir 2010/2011 Corruption Perception Index (CPI) mengalami kenaikan yaitu 2.8, namun level Indonesia masih di bawah negara-negara yang mengalami krisis politik maupun kemanusiaan. Seperti, Afganistan, Etiopia, Sudan, Somalia, dan lain-lain. Itu berarti, Indonesia merupakan negara terkorup (sedikit lebih tinggi dari negara Bangladesh, Negeria dan Myanmar). Oleh karena itu, mau tidak mau korupsi harus segera diberantas.

Tabel : 1 Peringkat Korupsi Indonesia

Country Rank Country Score*
5 Singapore 9.3
16 Hongkong 8.0
39 Malaysia 5.0
47 South Korea 4.5
66 Thailand 3.6
71 China 3.4
104 Philippines 3.6
137 Indonesia

2.0 (Sejak 2010, Naik

Menjadi 2.8)

143 Myanmar 1.7
144 Nigeria 1.6
145 Bangladesh 1.5

Sumber : Bahan hukum skunder, diolah

Di tengah-tengah kegiatan memperingati hari anti korupsi Internasional yang jatuh setiap tanggal 9 Desember, yaitu perayaan hari korupsi sedunia pada tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat Tranparency Internasional Indonesia (TII), menyampaikan laporannya yang menempatkan Partai Politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan hasil surveinya sebagai berikut. Aspek kerugian negara dalam Semester I 2008 sampai dengan Semester I 2010, bahwa BPK menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 73,55 Triliun, sedangkan Institusi yang terkorup adalah : Partai Politik, Legislatif (DPR), Lembaga Peradilan, dan Kepolisian Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan hasil survei integritas sektor publik yang di antaranya menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga terburuk dalam integritas publik. Skor integritas Departemen Hukum dan HAM yang di bawah rata-rata 5,53 menandakan Departemen dan unit layanan yang bersangkutan, tinggi pengalaman korupsinya dalam setiap tahap pemberian layanan kepada masyarakat. Adapun skor layanan integritas sektor publik tampak dalam tabel berikut ini.

Tabel : 2 Skor Layanan Integritas Sektor Publik

No Lembaga Skor
1 Departemen Hukum dan HAM 4.15
2 Badan Pertahanan Nasional 4.16
3 Departemen Perhubungan 4.24
4 PT. Pelabuhan Indonesia 4.76
5 Kepolisian Republik Indonesia 4.81
6 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 4.85
7 Departemen Agama 5.15
8 PT. Perusahaan Listrik Negara 5.16
9 Departemen Kesehatan 5.25
10 Mahkamah Agung Republik Indonesia 5.28

Sumber : Bahan hukum sekunder, diolah.
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengikutsertakan masyarakat, dalam The United Nations Convention Against Corruption 2003, pada Pasal 13 disebutkan, bahwa;

Each state party shall take appropriate measures, winthin its means and in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to promote the active participation of individuals and groups outside the public sector, such as civil society, non governmental organizations and commmunity based organizations, in the prevention of and the fight again corruption (Masing-masing negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang semestinya, dalam kewenangannya dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya; meningkatkan partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat sipil, organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/LSM) dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka pencegahan dan perlawanan terhadap korupsi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat mengenai keberadaan, penyebab dan kegawatan dari dan ancaman yang ditunjukan oleh korupsi). Maksud ketentuan ini adalah mewajibkan semua negara penerima/pihak untuk mengikutsertakan masyarakatnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki, baik melalui lembaga swadaya masyarakat, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainya.

Pemegang kedaulatan rakyat, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mencetuskan pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Bagian yang menjadi pertimbangan penting dalam ketetapan itu adalah : bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdaya guna dan berhasil guna; dan bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik praktik usaha yang lebih menguntungkan kelompok orang tertentu dan menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.

Selama ini, pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya dilakukan oleh pemerintah. Padahal, dalam kehidupan bermasyarakat ada tiga komponen yang selalu saling berhubungan. Ketiga komponen tersebut adalah negara/ pemerintah (state), pasar/bisnis (market), dan masyarakat sipil (Civil Society). Karena itu, saya ingin mengkaji dari aspek hukum bagaimana ruang gerak LSM yang mewakili masyarakat sipil dijamin oleh peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Sampai saat ini fungsi LSM yang meliputi hak, tugas maupun tanggung jawab yang diberikan kepada LSM di Indonesia masih sangat terbatas. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan hak NGO (di Indonesia disebut LSM) di beberapa negara lain yang telah berhasil memberantas korupsi. Misalnya, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, Australia (New South Wales), dan lain-lain. Di Korea Selatan, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi juga gencar dilaksananakan dan cukup berhasil. Upaya itu dilakukan berdasarkan Peraturan Pencegahan Korupsi Republik Korea Selatan yaitu Undang undang Nomor 8 Tahun 2001 Pengumuman Peraturan Nomor 6494. Pemberantasan korupsi di Korea, selalu didorong oleh semangat dan dukungan masyarakat umum. Di negara tersebut juga dibentuk lembaga independen yang memiliki fungsi mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi. Lembaga ini diberi nama Komisi Independen Anti Korupsi Republik Korea Selatan, yang didirikan pada tanggal 25 Juli 2002.

Nam-Joo Lee, Ketua Komisi Independen Pemberantasan Korupsi (KICAC) Korea Selatan, dalam suatu kesempatan mengemukakan bahwa:
”There are sectors, the government, business and civil society. Among the tree, the last one is creating afreespirited and independent sphere. It has established new set of rules for reform and presented new values through the interaction with the other two sector. Varied changes, political, economic, and social, have been achieved through this process.”
(Secara umum di Korea ada tiga sektor, yaitu: pemerintah, pengusaha dan masyarakat sipil. Di antara ketiga sektor itu, sektor yang terakhir yaitu masyarakat sipil menciptakan semangat kebebasan dan suasana kemandirian. Ia telah menetapkan seperangkat aturan-aturan baru untuk memperbaiki dan memberikan nilai-nilai baru melalui interaksi dengan kedua sektor yang lain. Berbagai perubahan politik, ekonomi dan sosial telah dicapai melalui proses ini terutama dalam upaya penanggulangan korupsi).

Jadi, di Korea LSM dapat mengajukan rancangan peraturan dan dapat dilakukan pembahasan oleh yang berwenang. Berbeda halnya di Indonesia, rancangan peraturan yang dibuat oleh masyarakat atau melalui LSM harus disalurkan lewat eksekutif atau legislatif, dan tidak ada keharusan untuk bisa diterima. Lebih lanjut ketua KICAC menyatakan :
”However, the government’s anti corruption convictions and an institutional framework by themselves cannot thrughly eradicate corrruption. Only when there are continued assistance from the private sector such as monitoring and control by civil society and corporate reforms in governance and ethics, our policies can work effectively.
(Lembaga anti korupsi milik pemerintah dengan rencana kerja yang dibuat oleh mereka sendiri, tidak dapat dengan sempurna memberantas korupsi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan jauh lebih baik bilamana masyarakat sipil (NGO/LSM) ikut aktip dan penuh perhatian, seperti memonitor dan mengawasi bersamasama untuk memperbaiki moral dan kebijakan-kebijakan lain).

Dengan demikian, di Korea Selatan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak bisa lepas dari fungsi masyarakat yang umumnya tergabung dalam NGO (nongovernmental organization). Keberhasilan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Korea Selatan yang sangat menentukan adalah dengan diberikannya kesempatan atau kewenangan kepada NGO untuk melakukan pencekalan (mengumumkan namanya di tempat-tempat umum) terhadap para politikus busuk dan pejabat negara yang dicurigai telah melakukan tindak pidana korupsi. Tindakan semacam ini tidak dilakukan oleh LSM di Indonesia karena belum ada landasan hukumnya.

Perilaku koruptif yang berulang-ulang dilakukan oleh aparatur negara, terutama pejabat publik, menunjukkan kegagalan negara mewujudkan etos kerja aparatur yang berpegang pada etika. Terkait dengan ini, Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) menyatakan bahwa “hukuman mati sudah sepantasnya diterapkan di Indonesia” Sebagai perbandingan, bahwa hukuman mati bagi koruptor di Cina, misalnya: Februari 2004 Wakil Gubernur Provinsi Anhui, menerima suap sebesar 623.000 dollar AS dan tidak bisa menjelaskan asal-usul rekeningnya (pembuktian terbalik) sebesar 600.000 dollar AS; Maret 2005, Bi Yuxi, administrator Beijing Road, melakukan penggelapan dana publik sebesar 360.000 dollar AS, dan menerima suap 1,2 juta dollar AS; Desember 2007, Li Baojin, mantan Jaksa Penuntut Umum di Kota Tianjin Utara, menggelapkan uang dan menerima suap senilai 2.66 juta dollar AS; Juli 2007, Ziaoyu (pejabat dinas Kesehatan dan Makanan) menerima suap 850.000 dollar AS, sebagai imbalan untuk menyetujui peredaran obat yang belum teruji dan/atau palsu; Juli 2009 Cen Tonghai (Ketua China Petroleum and Chemical Corporation, menerima suap lebih dari 28 juta dollar AS; Agustus 2009, Li Peiying (Mantan Presiden Capital Airports Holding Company, menerima suap sebesar 41 juta dollar AS; Juli 2010, Wen Qiang (mantan Wakil Kepala Kepolisaian dan Keadilan di Chongging, menerima suap untuk melindungi para “gangster”; Juli 2011, Zhang Chunjiang (mantan Petinggi China Mobile) karena menerima suap sebesar 1.150.000 dollar AS.

Dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, cukup banyak peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957. Ini membuktikan betapa besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi sejak dulu hingga saat ini, baik dari hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal. Walaupun demikian, masih terdapat kelemahan-kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh tersangka untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, dalam pelaksanannya, instrumen normatif ternyata belum cukup untuk memberantas korupsi. Permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku, struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Upaya menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi menjadi lebih sulit.

Di Indonesia lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang dapat membantu individu warga negara untuk mendapatkan kebutuhan atau memenuhi kepentinganya. Khusus dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat yang memiliki visi dan misi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hampir di setiap daerah provinsi maupun kabupaten/kota LSM telah melakukan berbagai bentuk kegiatan baik untuk mencari data adanya penyimpangan kearah korupsi maupun usaha untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Segala kegiatan yang dilakukan oleh LSM terutama dalam upaya mengungkap kasus-kasus korupsi kemampuannya telah diakui dan didukung oleh masyarakat luas. Namun, di lain pihak hukum belum memberikan jaminan yang kuat terhadap ruang gerak LSM dalam upaya pemberantasan korupsi.