PENINGKATAN MUTU SAPI BALI BIBIT MELALUI PEMBERIAN HIJAUAN BERBASIS GAMAL-WARU DAN KONSENTRAT BERMINERAL SENG

Krisis ekonomi dan krisis pangan yang terjadi saat ini berdampak negatif pada kehidupan masyarakat, salah satu di antaranya menimbulkan kasus gizi buruk di beberapa daerah. PBB menggambarkan krisis pangan sebagai the silent tsunami yang secara diam-diam membunuh jutaan penduduk miskin dunia yang tak mampu menjangkau harga pangan yang semakin melonjak (Kompas, 25 April 2008). Negara kita Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sudah pasti potensinya sangat besar untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional asal ternak terutama daging. Namun, dengan adanya kebijakan mengimpor sapi bakalan dan atau daging sapi dari Australia menunjukkan kekurangpiawaian kita mengelola sumberdaya lokal yang ada. Sehubungan dengan itu, dalam upaya mencegah kegagalan swasembada daging tahun 2010 seperti pada tahun 2005, maka program pembangunan subsektor peternakan sudah selayaknya dilaksanakan secara serius, mantap, dan berkelanjutan. Dalam hal ini, salah satu langkah kongkrit dan strategis yang sepatutnya diambil pemerintah adalah di satu pihak berani membatasi quota impor sapi bakalan dan di pihak lain produksi daging dalam negeri dipacu dengan paket teknologi yang tepat dan aplikatif.

Sapi Bali (Bibos banteng) salah satu plasma nutfah asli Indonesia dan merupakan breed ketiga dunia setelah Bos taurus dan Bos indikus yang salah satu keunggulannya adalah adaptabelitasnya tinggi terhadap lingkungan pakan yang bermutu rendah. Keunggulan lain yang tak kalah pentingnya adalah presentase karkas, nisbah daging dan tulang, serta reproduksinya cukup tinggi. Selain itu, peranannya tidak kecil dalam pembangunan pertanian yang berintegrasi dengan sawah, tegalan, perkebunan ataupun dengan hutan (wanatani), baik pada lahan kering maupun lahan basah. Dengan demikian kontribusinya cukup besar dalam upaya diversifikasi usaha pertanian dan peningkatan pendapatan petani. Belakangan ini sapi Bali diterpa isu telah mengalami degradasi mutu genetik terutama di Kawasan Indonesia Timur, salah satu indikatornya adalah kompormasi tubuhnya semakin mengecil. Kondisi ini terjadi sebagai akibat adanya seleksi negatif dalam kurun waktu yang lama dan pakan yang diberikan belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologisnya akan nutrien. Indikasi ini belum nampak terjadi pada sapi Bali di Propinsi Bali sesuai dengan hasil penelitian Talib et al. (2003) bahwa produktivitasnya konsisten tertinggi dengan bobot lahir 16,8 + 1,6 kg dan bobot dewasa, terutama induk 303,3 + 4,9 kg.

Walaupun demikian, sapi Bali yang ada di Propinsi Bali saat ini keberadaannya menjadi sangat dilematis, di satu sisi Pemerintah Daerah telah mematok quota antarpulau 75.000 ekor/tahun dan pemotongan lokal 30.000 ekor/tahun. Namun, di sisi yang lain laju pertambahan populasinya pada tahun 2006 hanya 3,78% dari total populasi 613.241 ekor (Disnak Bali, 2006). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai pertambahan populasi hanya mampu memberi kontribusi sebanyak 23.181 ekor dari 105.000 ekor sapi pedaging yang dibutuhkan. Ini berarti, masih terdapat kesenjangan sebanyak 81.819 ekor yang terpaksa dipasok dari populasi yang ada untuk memenuhi total kebutuhan yang telah ditetapkan. Fenomena lain yang sangat perlu mendapat perhatian serius semua pihak adalah berkembangnya isu penyelundupan ribuan sapi Bali ke Malaysia seperti dilansir media cetak Bali Post (5 Maret 2008) dan isu lainnya yang berhubungan dengan pemotongan betina produktif. Seandainya permasalahan ini tidak direspons dengan baik dan arif dari instansi pemegang kebijakan, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap penurunan populasi sapi Bali dan atau kepunahannya. Kekhawatiran ini juga pernah disoroti oleh Trobos media agribisnis peternakan dan perikanan pada edisi
Oktober 2007 sebagai berita utama dengan judul Sapi Bali, Jangan Hanya Gigit Jari.

Sejalan dengan kearifan pemerintah pusat menetapkan Bali sebagai lokasi Balai Perbibitan Ternak Unggul (BPTU) sapi Bali dan Nusa Penida sebagai pusat koservasinya seyogyanya diapresiasi dengan paradigma baru yang berorientasi pada standarisasi dan sertifikasi. Program peningkatan mutu sapi Bali bibit dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) perbaikan manajemen induk bunting dalam menghasilkan anak (pedet) yang superior; (2) perbaikan manajemen induk laktasi untuk menghasilkan susu yang tinggi dan kesiapan induk untuk berproduksi kembali; dan (3) perbaikan manajemen pemeliharaan anak untuk menghasilkan bobot sapih dan bobot dewasa yang superior. Strategi yang sepatutnya ditempuh dalam menghasilkan sapi bali bibit yang bermutu adalah dengan memformulasi ransum yang mampu memenuhi kebutuhan ternak akan nutrien sesuai dengan status fisiologisnya. Pakan hijauan yang dimanfaatkan hendaknya berbasis pada daun-daunan terutama gamal-waru, sesuai dengan habitatnya sebagai ternak peragut (Browser; Kearl, 1982). Pakan konsentrat yang dimanfaatkan hendaknya mengandung energi siap pakai, protein fungsional, dan mineral Zn, karena pakan yang ada defisien akan ZN (Little, 1986). Dengan pemanfaatan hijauan berbasis daun gamal-waru dan konsentrat bermineral Zn, selain dapat memenuhi standar kebutuhan ternak akan nutrien juga dapat menjamin berlangsungnya proses pencernaan, metabolisme nutrien dan dapat pemanfaatannya secara lebih efisien.