MEMAKNAI BIAS-BIAS KINERJA INDIKATOR PEMBANGUNAN KAITANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN

Jika direnungkan dalam situasi ekonomi yang relatif stabil dengan investasi dan pendapatan yang terus meningkat selalu saja menyisakan kemiskinan dan kemelaratan. Di pihak lain dalam situasi perekonomian lesu, krisis berkepanjangan pasti menyisakan deretan penderitaan yang sangat miris jika disebutkan satu persatu. Kenapa dalam dua kutub yang ekstrim tersebut selalu memberikan dampak yang sama terhadap sebagian masyarakat? Tidak tertutup kemungkinan karena indikator yang dipergunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi perlu digugat validitas dan keabsahannya. Pemikiran seperti itu sangat jarang dikedepankan oleh penyelenggara negara, keasyikan mereka mempermainkan angka-angka statistik telah membuat respon dan kepekaan mereka terdegradasi sehingga moral ekonomi tumbuh secara liar keluar dari nilai kearifan bangsa berubah menjadi pelaku ekonomi yang rakus. Jika kewaspadaan terhadapnya dimentahkan oleh pelaku ekonomi, maka kemandirian semakin menjauh dan selamanya akan menjadi negara yang tergantung dari negara lain.

Masih melekat dalam ingatan bagaimana dampak daripada krisis multidimensi tahun 1997, yang selanjutnya disusul dengan krisis keuangan global maka praktis kondisi tersebut meninggalkan jejak kelesuan ekonomi disertai dengan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, rontoknya perusahaan-perusahaan besar, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Ekspor menurun sementara impor terus menggelembung, pengeluaran pemerintah selalu menekan penerimaan sehingga praktis pinjaman dan hutang luar negeri terus membengkak. Di lain pihak exchange rate mechanism, sistem ekonomi pasar bebas, kebijakan tingkat bunga untuk mendorong sektor riil, serta penghematan dan disiplin anggaran tidak mampu memperbaiki perekonomian dari keterpurukan. Ilmu ekonomi yang selama ini diadopsi dari dunia barat telah gagal menyelamatkan perekonomian sehingga makin mengubur angan-angan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu kegagalan dan sekaligus dosa dari para perencana pembangunan di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah karena mereka terlalu asyik dengan permainan angka-angka, yang dengan berbagai metode model analisis statistik mutakhir, serta dengan argumentasi jumawa, sering angka-angka tersebut dipergunakan sebagai alat untuk mengclaim keberhasilan mereka dalam menyelenggarakan roda pemerintahan/kekuasaan.

Disadari atau tidak, target angka-angka statistik makro ekonomi yang telah dicanangkan, membawa dampak pada introdusir dan perintah dari tingkat paling atas sampai paling rendah, dari instansi langsung maupun terkait untuk mengupayakan pencapaian target angka-angka tersebut. Fenomena ini telah mengantarkan pola perilaku masyarakat maupun pemerintah, untuk mengejar nilai tambah ekonomi semata sebagai tujuan utama, dengan mengesampingkan nilai tambah sosial yang semestinya diperkuat dan dilestarikan sebagai suatu kearifan yang justru dibanggakan bangsa-bangsa lain. Kondisi ini telah memupuk kesuburan tumbuhnya nilai-nilai individualisme serta mengesampingkan pilar kebersamaan, kekerabatan dan persaudaraan yang pada akhirnya diwujudkan pada sikap acuh tak acuh, menurunnya kepedulian sosial dan meningkatkan kecongkakan dan kesombongan yang tercermin dari oleh kebanggaan materi berlebihan. Keseimbangan antara kebutuhan pisik dan psikis sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan akhir dari proses pembangunan sepertinya semakin jauh dari harapan bersama. Untuk itu jika adanya kehendak yang besar masih belum terlambat untuk mereposisi berbagai kegiatan dan kebijakan untuk mengarahkan semua proses agar kembali kepada apa yang telah digariskan.