SUDUT PANDANG NYEPI DI ERA MODERN

Bapak Dr. Drs. I Wayan Surpa, SH.,M.Si selaku Dosen Pendidikan Agama Unud (kanan) dan I Ketut Eriadi Ariana selaku Dewan Penelitian dan Pengembangan Forum Persaudaraan Mahasiwa Hindu Dharma periode 2016  (kiri)

Sudirman-Denpasar. Disela-sela kesibukan Beliau yang padat, kami menemui Bapak Dr. Drs. I Wayan Surpa, SH.,M.Si selaku Dosen Pendidikan Agama Unud pada hari Rabu 29 Maret 2017. Wawancara santai yang dilakukan bertempat di Kampus Unud Sudirman. Topik kali ini membahas mengenai Hari Raya Nyepi, apakah banyak pergeseran pada pelaksanaan Nyepi, makna Nyepi serta pesan bagi generasi muda dalam pelaksanaan Nyepi.

Menurut Beliau, nyepi adalah Hari Raya Hindu yang berkaitan dengan perubahan tahun Caka. Upacara Penyepian merupakan upacara tawur yang raingkaiannya itu pertama Melasti, Pengerupukan, Penyepian dan terakhir Ngembak Geni. Melasti merupakan suatu kegiatan pembersihan Bhuana Agung (segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan) dan Bhuana Alit (diri manusia). Setelah selesai rangkaian Melasti, keesokan harinya dilaksanakan kegiatan pengerupukan atau pecaruan yang dilakukan di banjar secara massal dan dilakukan secara individu dalam keluarga masing-masing yang bertujuan untuk pembersihan mencapai keharmonisan.

“Saat ini terlihat munculnya pergeseran yang terjadi untuk pelaksanaan Nyepi pada zaman saya dulu jika dilihat dari melasti, semua keluarga turut serta untuk ngiring Ida Bhatara ke tempat sumber air. Namun saat ini saya tidak ada melihat yang seperti itu karena kesibukan masing-masing dan masyarakat berpikir kalau sudah ada salah satu keluarga yang melasti sisanya tidak datang tidak masalah. Sebenarnya itu pemikian yang salah karena tujuan melasti adalah memohon anugerah dan pembersihan diri. Jika dilihat pada saat pengerupukan, sebagian dari anak muda meminum-minuman keras agar kuat untuk mengarak ogoh-ogoh namun hal itu adalah tindakan yang salah. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan budaya yang seharusnya tidak ada penyimpangan disana” kata Beliau.

Menilai dari makna Nyepi yang sesungguhnya adalah untuk membentuk rasa keharmonisan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Kemudian menyatukan keluarga yang karena kesibukan sehari-hari jarang bertemu, sekarang berkumpul untuk merayakan Nyepi sesuai dengan Catur Brata Penyepian. Dimana Catur Brata Penyepian yaitu tidak menyalakan api atau penerangan, tidak bekerja, tidak bersenang-senang. dan tidak bepergian.

Bapak Dr. Drs. I Wayan Surpa, SH.,M.Si berpesan bahwa beliau salut dengan generasi muda saat ini yang sudah turut serta memberikan pemantapan dan kemantapan dalam menyambut hari raya Nyepi yang berkaitan dengan meningkatkan Sradha dan Bhakti khusus dalam bidang budaya yaitu membuat ogoh-ogoh. Saran yang disampakan oleh beliau, kedepannya kita kembali kepada tatanan, tatakrama dan aturan yang berlaku agar tidak ada penyimpangan.

Berbeda dengan pandangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Jawa Kuno yaitu I Ketut Eriadi Ariana mengatakan bahwa Pelaksanaan Nyepi saat ini masih pada dasarnya dan masih seperti dahulu, namun akibat pesatnya informasi dan komunikasi membuat Nyepi terkesan seperti hari-hari biasa karena komunikasi (khususnya internet dan media sosial) jalan terus dan handphone masih belum bisa disepikan saat Nyepi. Dewan Penelitian dan Pengembangan Forum Persaudaraan Mahasiwa Hindu Dharma periode 2016 ini juga mengatakan ada pergeseran yang terjadi untuk pelaksanaan Nyepi terutama pada sarana yang menyertai Nyepi. Misalkan pada ogoh-ogoh cenderung menjadi seni profan dan hanya untuk hiburan semata. Kalau dahulu ogoh-ogoh digunakan sebagai sarana visualisasi atau simbolis Bhutakala, dipasupati dan di arak mengelilingi desa. Setelah prosesi dibakar menandai penetralan Bhutakala yang tervisualkan dalam ogoh-ogoh. Saat ini ogoh-ogoh dibiarkan begitusaja dipajang hingga bertahun-tahun. Hal ini secara simbolis tidak sesuai dengan konsep awal. Merut eriadi yang sekarang menjabat sebagai Sekretaris umum di Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia Daerah Badung, Nyepi mempunyai makna hari pengembalian dunia ke titik nol. Setelah setahun hari-hari yang dijalani, pada saat Nyepi kita kembali lagi ke awal (awal tahun dan tahun baru). Tilem kesanga adalah tilem yang dianggap sangat gelap, kekuatan negatif terakumulasi ketika itu. Hal tersebut juga terjadi pada pikiran manusia, jika manunia tidak menyadari jati diri maka energy negatif akan menguasai pikirannya, sehingga yang terlahir adalah prilaku yang cenderung negatif. Saat itulah leluhur membuat konsep untuk menetralkan kekuatan negatif dengan simbol “ngupahin” Bhutakala lewat tawur kesanga yang diharapkan nantinya sifat negatif tersebut akan menjadi positif.

Saat ini masih banyak masyarakat melaksanakan Nyepi sebatas seadanya. Makna didalamnya masih minim diketahui sehingga pada saat nyepi banyak masyarakat yang tidak melaksanakan Catur Brata Penyepian. Pemuda semestinya berperan disana dan memberi contoh pada generasi yang lebih muda dan memberikan pemahaman pada generasi yang lebih tua.(krs)