CONTEMPORARY BALI : Bali is not Fine Anymore

Memiliki budaya adi luhung tidak hanya menjadi salah satu investasi untuk Bali. Budaya membuat masyarakat pulau dewata ini memiliki pandangan untuk dapat menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Pendekatan budaya menjadi jalan untuk mencukupi permasalahan yang terjadi. Hal ini menjadi kesempatan yang digunakan sebagian orang untuk memposisikan dirinya dalam kelompok elit di Bali. Mereka mendiktekan dirinya sebagai penguasa besar dan menjadi aktor-aktor program kerja investasi di Bali. Kondisi tersebut membuat mereka mempunyai kepentingan untuk bisa diakomodir di tata ruang serta mampu untuk melaksanakan projek-projek kapital. Buku CONTEMPORARY BALI CONTESTED SPACE AND GOVERNANCE mengungkapkan hal tersebut. Buku karya Agung Wardana, PhD berisi pandangannya terhadap kondisi Bali yang kontemporer. Bobot terbesar buku ini adalah pengkajian masalah-masalah ruang dan lingkungan pasca reformasi yaitu dalam konteks desentralisasi. Penulis melihat perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi merupakan permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di Bali. Hal ini ditunjukan dengan peran kabupaten/kota yang sangat besar dalam ruang regulasi dan mengatur ruang wilayahnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maupun menambah penghasilan daerah. Kondisi ini juga disebut kondisi krisis oleh banyak penelitian. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini melihat kerusakan di Bali bukanlah disebabkan oleh pilihan rasional masyarakat Bali yang berubah dari pertanian menjadi industri pariwisata sehingga banyak sawah yang dijadikan hotel dan tempat wisata. Kerusakan di Bali bukanlah disebabkan oleh faktor dari luar seperti globalisasi dan urbanisasi. Kerusakan di Bali bukanlah disebabkan instusi negara yang tidak sesuai dengan konteks Bali. Kerusakan di Bali disebabkan oleh relasi kuasa yang ada di Bali. Orang yang akan mendapatkan akses mudah untuk mengambil keuntungan adalah orang yang paling berkuasa. Hal ini dapat dilihat melalui pendekatan ekonomi politik yang ditawarkan oleh penulis dalam bukunya. Teori ini dibuat karena dirasa teori-teori yang membahas Bali sudah tidak memadai dalam menjelaskan hal-hal yang terjadi di Bali saat ini. Kita harus berhenti melihat Bali yang romantis atau dalam kondisi baik-baik saja. Kita harus melihat Bali sebagai ruang pertarungan dan nasibnya ditentukan oleh struktur ekonomi politik di Bali. (yun)