Cerita Ni Diah Tantri : Meneladani Jejak Kearifan Lokal Episode 3b

EPISODE 3b (Sambungan):  BELAJAR SETIA KAWAN “Burung Kakatua dengan Sahabatnya”

Episode  merupakan kelanjutan dari cerita bersambung 3a terdahulu. Dalam Episode 3b ini masih mengisahkan perbedaan karakter seekor  burung kakatua sesuai dengan karakter si empunya. Adapun  tema cerita tersebut adalah persahabatan yang dibalut kekuasaan. Persahabatan dalam hal ini ada dua, yaitu (i)  hubungan raja dengan para bawahannya/menterinya dalam tautan tuan dengan hamba (patron-client) dan (ii) persahabatan seekor burung dengan pemiliknya yang masing memiliki karakter yang berbeda.   Dalam persahabatan yang pertama (raja dengan menterinya) sebelum raja tua mangkat, adalah persahabatan yang dilatarbelakangi  pengabdian yang tulus dari para menterinya, jujur, setia, dan hormat kepada sang raja/penguasa sehingga kerajaan mencapai kesejahteraan, kemakmuran, ketenteraman karena selain sang raja sangat pintar memerintah juga karena keadilan yang diutamakan.  Sang raja sangat mempercayai bawahannya karena kejujurannya tan pengabdian yang tanpa pamrih, sebaliknya para menteri sangat hormat karena kebajikannya.  Inilah kondisi yang ideal dari sebuah pemerintahan agar berhasil guna,  kedua belah pihak saling membutuhkan dan membentuk sinergi pemerintahan yang kuat. Keadaan sebaliknya ditunjukkan ketika raja tua mangkat, lalu digantikan oleh putra mahkota. Demikian juga dengan mepat menteri mudanya yang  penuh nafsu kekuasaan, kemewahan sehingga tidak mempedulikan kesejahteraan rakyat, menggunakan tipu muslihat untuk mewujudkan ambisinya itu. Kata-kata manis, muluk-muluk sesungguhnya semu belaka di balik niat jahatnya itu. Selanjutnya, persahabatan  seekor burung yang memiliki karakter berbeda sesuai dengan tabiat pemiliknya. Berikut disajikan teks aslinya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Teks

            Gêlising crita rauh rêke watêk tapaswine, saha nêsêk sang prabu, maduluran atur aris, sinambi makta sangku muah swamba, maisi tirta mahêning, buina ida makta palinggihan. Panyambraman ida sang tapaswi, sakancan woh-wohan ne ada di alase.  Pakayunan ida ngaturin  sang prabu gumanti wit saking susrusa nirmala tan pacantula, mangda ida sang prabu arsa ngayunang panyambramane ênto. Ledang pêsan kayun ida sang prabu Gajahdruma, katamiu baan watêk tapaswine, lantas ida matur: “Inggih pedanda, mawinan titiang rauh mriki, saantukan titiang kaon ring rana”. Lantas ida nguningayang  indik uli pangawit têkaning ida rauh di pasraman. Pêdanda mirêng pangandikan ida sang prabu  kaliwat kawêlas arsa, wireh patuting pamargin watêk  tapaswine, gumana tuah ngamargiang kaparamartan. Sang prabu matur pitaken, warnane kamerang-merangan, nunasang têken pêdanda, unduk i kêdis atate ane panggihin ida  i tuninne. Mara keto atur pitaken ida sang prabu, lantas i kêdis atat matur: “Inggih ratu Sang Prabu Gajahdruma, antuk atate sane panggihin i ratu i wawu, wiakti lian ring titiang, saantukan titiang kubuh antuk ida pêdanda, nyabran dina titiang mamanggih wiadin miragi indik tutur kadyatmikan kalih tutur kretadarma. Mungguing atate sane panggihin iratu i watu satata ipun mamanggihin kalih miragi  ujar i juru boros, kaon-kaon kewantên pajar ipun, seosan ring anake kadi titiang, nyabran ningêh  aji tutur sêlokampuraga sastra nalêr  karêsêp ring manah. Pamuput ipun ratu, wantah ngapitut solahing kanti. Padagingan ipun sang malaksana kaon, kaon sane kapanggih. Ayu pakardine, lêwih kang pinangguh. Sakadi pamargan i ratu, ngalinggihin pamunguning catur tanda mantrine anom,tan sengêh ring wacanan ipun, mawastu i ratu tan wentên uning ngamêl rat, kalih ngalap trêsnan panjak, samalih tan uning ngunadikayang bakti kaula, sane patut kalawan tan patut. Mawinan asapuniki  sane panggihin i ratu mangkin. Kenginan wusan i ratu jumênêng nata”. Keto atur i kêdis atate têken ida sang Prabu Gajahdruma.

Ngandika I Patih Sambada ring I Nohan miwah I Tatit, luir pangandikan dane sapuniki: “Yan buat papinêh awake, tusing apa kapo bina ida sang Prabu Singha têken pamargan ida sang Prabu Gajahdruma. Salampah muah seluan satata anut sojar Sang Nandaka. Nanging yadiapin keto, êda cai pada sêbêt, awake lakar ngekanang daya, mangdene nyama-nyamane suud kakingkingan”. Wawu asapunika pangandikan dane  I Patih Sambada, sami wadwa asune pada lêga manahipun. (Bersambung 4a: Rencana tipu muslihat I Patih Sambada).

TERJEMAHAN

            Singkat cerita konon para pertapa sudah datang, mendekat menuju raja (Gajahdruma), menyapa sambil membawa bejana (logam), berisi air suci, beserta membawa tempat duduk. Persembahan dari  para  pertapa, yakni berbagai jenis buah-buahan yang ada di hutan. Tujuannya untuk memberikan kepada raja  betul-betul dari hati yang tulus tanpa ragu, mohon berkenan sang raja mau menikmati persembahan itu. Alangkah senang  hati Raja Gajahdruma, dijamu oleh para pertapa itu, lalu berkata: “Wahai pendeta, alasannya saya ke sini, oleh karena saya kalah dalam perang”. Lalu beliau mengatakan ihwal kejadiannya sampai tiba di pertapaan itu. Para pendeta merasa terharu/kasihan mendengarkan cerita sang raja, karena seperti keberadaan para pertapa, yang memang hanya melaksanakan ajaran paramata.  Sang raja bertanya, (dengan) raut wajah yang malu bercampur marah, bertanya kepada pendeta tentang seekor burung kakatua yang dilihatnya tadi. Mendengar pertanyaan sang raja, lalu burung kakatua berkata: “Hai, raja Gajahdruma, mengenai burung kakatua yang paduka lihat tadi, sebenarnya beda dengan hamba, adapun hamba dipelihara oleh beliau sang pendeta, setiap hari hamba  mendengarkan tentang ajaran kebatinan dan juga ajaran kebenaran. Adapun kakatua yang paduka lihat tadi dia selalu mendengarkan ajaran dan perkataan si pemburu, perkataannya selalu tidak pantas, berbeda sekali dengan hamba, yang setiap hari mendengarkan selokampuraga sastra dan meresap  ke dalam hati. Pendek kata tuanku, hanyalah mengikuti perbuatan/perkataan dari sahabat. Intinya yang berbuat jelek, hasilnya pastilah kejelekan yang didapatkan. Baik perbuatannya, baik pula hasilnya. Seperti  tindakan paduka, yang  mempercayai semua perkataan/permintaan keempat menteri muda itu, tak tahu maksudnya dari perkataan itu, akhirnya paduka yang salah tidak bisa memerintah, serta mengayomi (memahami, melayani) kehendak rakyat,  lagi pula tidak bisa merasakan penghormatan dari rakyat,  yang  benar maupun yang tidak benar. Akhirnya seperti ini yang paduka alami. Sehingga tidak lagi menjadi raja”. Demikian perkataan   burung kakatua kepada Raja Gajahdruma.

I Patih Sambada berkata kepada I Nohan dan I Tatit, adapun katanya seperti ini. “Menurut pendapatku, tidak ada bedanya antara Prabu Singha dengan perilaku Raja Gajahdruma. Semua perkataan dan perintahnya selalu menuruti Sang Nandaka. Tetapi walaupun demikian, kamu semua jangat sedih, akan membuat tipu muslihat, agar saudara-saudaraku semua tidak bersedih”. Ketika mendengar perkataan  I Patih Sambada, semua anjing-anjing itu senang hatinya.

Amanat/Pesan

Adapun pesan dari cerita di atas bahwasanya perintah sang raja/penguasa untuk ditaati oleh para menterinya/bawahannya yang bertujuan untuk keaman dan kesentosaan seluruh rakyatnya. Sebagai bawahan yang baik perintah harus dilaksakan sebaik-baiknya apa pun risikonya, penuh dedikasi dan tanggung jawab yang perlu diteladani.

Kematian dari keempat menteri tua itu ditambah dengan perilaku para menteri muda yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat membuat raja-raja tetangga berani untuk melakukan penyerbuan menantang Gajadruma. Penyerangan ini berhasil dengan baik dan meruntuhkan kerajaan. Perilaku hedonis keempat menteri muda itu yang terlena dengan kemewahan tidak berhasil mempertahankan negara. Hanya kehancuran sebagai balasannya. Itulah akibatnya salah memilih teman dan kepercayaan yang diberikan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

            Persahabatan yang lain ditunjukkan oleh watak/perilaku yang bertolak belakang dari burung kakatua (atat).  Hal ni dialami oleh Gajadruma  dua kali selama pelariannya di dalam hutan. Watak pertama adalah kasar, seluruh  untaian kata-kata kasar burung kakatua peliharaan seorang pemburu, kakatua akan bersuara layaknya seperti seorang pemburu yang terus mengejar mangsanya/buruannya, untuk menemukan dan membunuh buruannya bila melihat mahluk lain. Kosakata pemburulah yang selalu didengar oleh burung  kakatua setiap hari.  ‘Senantiasa mendengar  teriakan pemburu (yang)  galak/menakutkan, tidak pernah sekalipun  berkata  kebajikan. Watak kedua adalah halus, ramah-tamah, santun. Hal ini diperlihatkan oleh seekor kakatua yang dipelihara oleh seorang pendeta. Itu artinya bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Hakikatnya jalinan sebuah persahabatan, (yang) memberi dampak baik atau pun buruk, tiada lain itulah yang menentukan, seperti contoh percaya kepada keempat menteri muda, yang dusta dan tidak bisa mempertahankan negara’. Harus pandai memilih dan memilah perkataan mana pantas dituruti, untuk itu diperlukan wiweka agar tidak terjerumus ke lubang kehancuran.

Itulah sekelumit  kisah persahabatan, jalinan kepercayaan yang disalahgunakan. Dalam kehidupan sehari-hari tentulah juga harus berhati-hati memilih teman.  Jika salah memilih teman seperti menggali lubang masuk lubang sendiri. Perilaku persahabatan sebagaimana yang ditunjukkan oleh burung kakatua bahwa lingkungan sangat berpengaruh pada hasil akhir. Bila lingkungannya benar (gurunya juga benar) maka hasilnya kebaikan, sebaliknya bila lingkungannya  tidak benar maka hasilnya juga buruk.

 Amanat lainnya difokuskan pada pilihan dilematis para menteri tua. Keempat menteri tua itu mengalami kejadian tragis dramatis. Mereka berada dalam pilihan sama-sama tidak menguntungkan, bagai makan buah simalaka. Di satu sisi mereka harus memegang teguh amanat raja terdahulu dan di sisi lain pada saat yang bersamaan juga harus tunduk kepada raja muda sebagai pewaris tahta yang sah. Sebagai seorang abdi yang patuh, keempat menteri tua sudah berusaha menyadarkan dan menjelaskan hal penolakannya itu berdasarkan amanat raja terdahulu bahwa apa pun yang terjadi, apa pun alasannya mereka berempat (para menteri tua) tidak boleh ke istana karena  menjaga perbatasan adalah hal paling penting dalam menjaga kedaulatan negara. Oleh karena hasutan para menteri muda yang haus kekuasaan, usaha keempat menteri tua itu gagal total dan harus ditebus dengan pengorbanannyawa. Inilah bentuk pengorbanan tertinggi, pelajaran tentang  “kesetiaan” (mati satya) yang harus dibayar mahal. Dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan istilah panca satya, yakni (i) satya budi: setia kepada cita-cita; (2) satya mitra: setia kepada kawan; (3) satya negara: setia kepada negara (dan bangsa); (4) satya semaya:  setia kepada janji; dan (5) satya wecana: setia kepada ucapan (Wijaya, 1981: 156, Tim Penyusun, 1976: 503). Perbuatan dari keempat menteri tua itu dapat dikategorikan perbuatan “satya negara” ‘setia kepada bangsa dan negara’. Pengertian bangsa dan negara dalam konteks ini bukanlah dalam pengertian tanah air semata tetapi lebih jauh dari itu, yakni representasi  simbol negara seperti atasan, kepala, negara, raja. Amanat memegang teguh perintah atasan/raja dengan penuh tanggung jawab, penuh dedikasi, tanpa pamrih adalah bentuk-bentuk lain dari nilai-nilai kesetiaan dan nilai-nilai ini adalah mulia dan dalam konteks Bali disebut dengan istilah “dharmaning ksatria”.

            Kutipan di atas adalah sekelumit bentuk pengabdian yang tulus ikhlas zaman dahulu dan barangkali hari ini menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Tulus ikhlas tanpa pamrih adalah sikap rela berkorban tidak hanya fisik tetapi juga mental bahkan nyawa pun siap dikorbankan bila hal itu dianggap penting. Pengorbanan tentu tidak boleh membabi buta, haruslah didasari oleh suatu keyakinan yang kuat, yakni berlandaskan azaz kebenaran dan kewajiban.

            Dari uraian di atas dapat dimaknai  sebagai berikut ini. Tema pokok dari cerita Gajadruma adalah tentang jalinan  persahabatan. Kualitas sebuah persahabatan akan menentukan nasib seseorang di kemudian hari, jatuh bangunnya kehidupan seseorang tergantung cara memilih dan mempercayai persahabatan. Sebaliknya pula seorang sahabat hendaknya tulus ikhlas, tanpa pamrih, penuh dedikasi serta tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan oleh sahabat. Selain itu, amanat yang ingin disampaikan dalam cerita tersebut mengandung pesan tentang kesetiaan. Kesetiaan yang dimaksud adalah setia terhadap sesuatu yang diyakini benar dan harus ditegakkan. Setia terhadap teman, setia terhadap janji, setia terhadap bangsa dan negara, setia terhadap cita-cita luhur yang harus diwujudkan. Intinya adalah haruslah satu kata dan perbuatan. Berikut disajikan tabel karakter tokoh dalam cerita.

 

 

Nama Tokoh

Peran

Perilaku/tabiat

bijaksana

setia

kasar

Halus/ ramah

jujur

Sri Adipati

Raja tua

+

+

0

0

+

Gajahdruma

Raja Muda

-

0

0

0

0

Menteri Tua

menteri

+

+

0

0

+

Menteri Muda

menteri

-

-

0

0

-

Pertapa/pendeta

 

+

+

-

+

+

Burung kakatua 1 (milik pertapa)

 

+

+

+

+

+

Burung kakatua 2 (milik pemburu)

 

-

+

+

-

-

 

Keterangan:

Tanda ( + )                  : artinya mengandung/memiliki

Tanda ( - )                   : artinya tidak mengandung/tidak memiliki

Tan ( 0 )                      : tidak dapat dideskripsikan