DARI RIS MENJADI NKRI: FENOMENA DI SUNDA KECIL

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang telah mampu dan berhasil diraih sangat penting untuk disimak kembali guna menjaga semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang saat ini agaknya mengalami degradasi. Oleh karenanya dialog tentang ingatan kolektif bangsa Indonesia dari daerah yang berjuang untuk menggenggam kedaulatannya perlu didiskusikan kembali. Proklamasi kemerdekaan serta Revolusi Indonesia yang mengikutinya telah menjadi ingatan kolektif bangsa dan warga negara. Bagaimana proses pergumulan itu terjadi, terutama di daerah? 

Pergulatan Federalisme di tingkat pusat Negara 

Konferensi Denpasar, Desember 1946, merupakan tindak lanjut perundingan di Malino, Juli 1946, untuk mewujudkan gagasan federalisme seperti yang dirancang oleh H.J. van Mook di Indonesia. Ketika Konferensi Denpasar ditutup pada 24 Desember 1946, berhasil mendeklarasikan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT). Penopang sistem ketata-negaraan federal di Indonesia selanjutnya. Setelah NIT, kemudian disusul dengan pendeklarasian terbentuknya negara-negara dan daerah-daerah bagian lainnya sebagai penopang penerapan model federalisme H.J. van Mook, untuk mengepung eksistensi dan mempersempit geopolitik RI Proklamasi. Upaya mewujudkan model federalisme H.J. van Mook dan penggantinya di Indonesia menghadapi ancaman, ketika muncul pula model federalisme yang ditawarkan oleh Ide Anak Agung Gde Agung dari pemerintah NIT sendiri yang sangat berbeda dengan model federalisme H.J. van Mook dan penggantinya. 

Perlu diketahui bahwa bentuk pengelolaan negara baik federalisme maupun unitarisme berasal dari dua opsi yang diajukan oleh van Mook dalam pidatonya untuk membuka Konferensi Malino, pada 16 Juli 1946. Dari dua opsi yang ada, van Mook menyarankan untuk menganut sistem federal dalam pengelolaan Negara. Sistem federal yang dimaksud ditegaskan agar bagianbagian federasi terdiri dari wilayah-wilayah yang cukup luas dan potensial (Ide A.A. Gde Agung, 1985: 102-106; W.A. van Goudoever, 1946: 54-60).1 

Secara bertahap, NIT hasil Konferensi Denpasar tampil sebagai pemegang kendali untuk mengajak negara-negara dan daerah-daerah bagian lainnya menghimpun diri dalam musyawarah federal (Bijeenkomst Federale Overleg disingkat BFO). Ternyata NIT dan BFO kemudian, menjadi kekuatan ketiga dalam proses percaturan diplomasi untuk mengakhiri sengketa RI dan Belanda yang menyeret negara-negara lain dan lembaga internasional. Model federalisme Ide A.A. Gde Agung melalui NIT-BFO sejalan dengan model federalisme Sjahrir dan Hatta dari pihak RI, yaitu federalisme model Indonesia. 

Proses pergumulan antara dua model federalisme selama proses diplomasi yang mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar (KMB) ternyata federalisme model Indonesia yang lebih unggul untuk diterapkan. KMB mengakhiri sengketa RIBelanda. Pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yaitu bentuk pengelolaan Negara berdasarkan federalisme model Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1981: 4-5, G. McTurnan Kahin, 1995: xv; A.H. Nasution, 1978: 3- 4; Anthony J.S. Reid, 1996; R.Z. Leirissa, 2006). Terbentuknya RIS, berdampak pada proses dinamika intern di Sunda Kecil, terutama munculnya kelompok-kelompok elite pendukung federalisme dan unitarisme di satu pihak, dan di lain pihak mengakhiri perjuangan gerilya pengusung Republikan di Bali.