KONSTRUKSI WACANA AJEG BALI DALAM RELASI KUASA: ANTARA IDEOLOGI DAN UTOPIA

Wacana ”Ajeg Bali” berawal dari acara peresmian berdirinya Bali TV pada 26 Mei 2002. Dalam pidato peresmian Bali TV ini, Gubernur Bali I Dewa Made Beratha menyampaikan antara lain, bahwa misi dan visi Bali TV sangat mulia, yaitu ”mengembangkan dan mengajegkan adat dan budaya dan budaya Bali”. Dalam konteks cultural ini ”Ajeg Bali” kurang lebih dimaknai sebagai upaya menguatkan, mengokohkan atau melestarikan adat dan budaya Bali (Putra, 2005:180).
Sejalan dengan isi pidato Gubernur Bali tersebut, group media Bali sebagai kelompok kepentingan (Bali Post, Bali TV, dan Radio Global) secara intensip memperkenalkan ”Ajeg Bali” lewat berbagai program, seperti diskusi interaktif yang membahas masalah –masalah aktual yang dihadapi Bali, membuka rubric ”Ajeg Bali” setiap hari Rabo yang memuat liputan tentang adat dan budaya Bali, dan menayangkan acara dharma wacana agama Hindu di Bali TV sebagai usaha untuk menjaga Bali. Melalui penyiaran yang intensif itu, ”Ajeg Bali” di samping menjadi jargon ikonik yang sangat menarik dan seksi, tetapi juga terkesan controversial bahkan paradoksal.
Secara empiris tidak terpungkiri bahwa banyak kalangan masyarakat Bali telah memberikan respons positif dan hanyut pada keyakinan untuk mendukung gagasan ini, paling tidak secara moral. Namun, tidak sedikit pula kelompok kritis yang tidak apresiatif dan skeptis, dalam arti meragukan rasionalitas dan relevansi gagasan tersebut bagi tantangan masa depan yang dihadapi. Sikap keraguan ini muncul cukup beralasan, karena di samping belum adanya konsep atau blue print yang jelas atas wacana tersebut, juga karena makna yang menonjol dari konsep ini adalah upaya menjadikan sesuatu itu tetap seperti keadaan semula (ajeg), atau lestari. Salah satu di antaranya adalah suara penolakan yang disampaikan oleh personal group band asal Bali yang sangat terkenal, yakni ”Superman Is Dead”. Menurut mereka, Ajeg Bali bisa mematikan kreativitas generasi muda Bali; jaman berubah, tantangan zaman berbeda sehingga perlu adaptasi budaya yang berbeda. Penolakan ini tampaknya cukup beralasan, karena makna yang menonjol dari konsep ini adalah upaya menjadikan sesuatu itu tetap seperti keadaan semula (ajeg), lestari, tidak berubah, atau menjadi kekal abadi. Padahal sebagaimana telah dipahami, bahwa tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, tetapi dia akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan manusia pendukungnya. Apalagi di era kesejagatan seperti sekarang ini, kekuatan budaya global hampir tidak terbendung. Seperti ditegaskan oleh M.J. Herskovit (seorang antropolog Amerika) bahwa ”... no living cuture is static”, dalam arti ”the evidence for cultural change is overwhelming” (Herskovits,1956:479). Realitas ini menghadapkan kita pada keadaan dan makna yang kontradiktifparadoks, karena konsep pelestarian mengacu pada kondisi tetap seperti semula, tidak berubah, padahal di pihak lain sifat dasar kebudayaan cenderung mengalami dinamika dan perubahan seirama dengan perkembangan zaman. 
Di samping itu, pihak agensi juga telah berhasil mengkonstruksi identitas manusia kontemporer Bali sebagai provinsi yang homegen, dari segi etnis, budaya, dan agama Hindu, yang dioposisikan dengan Islam (Pichard,1997). Citra provincial yang homogen seperti itu, telah memunculkan fenomena ”outward loocking” atau Bali sentris ketika orang Bali menghadapi problematika internal. Ancaman terhadap identitas budaya Bali, dipersepsi bukan bersumber dari dalam, melainkan selalu dating dari luar pulau Bali. Persepsi dominan ini, menjadi semakin kuat dan transparan pasca peristiwa Bom Bali Satu.Persepsi dominan seperti ini menyebabkan munculnya penegasan perbedaan dan batas-batas identitas etnik Bali dan bukan Bali (pendatang) atau kita mereka semakin jelas. Pendatang dari luar Bali acap kali distigma sebagai sumber kekacauan, sedangkan orang Bali diposisikan sebagai penjaga ketertiban dan penjaga tradisi. Implikasinya, ketika terjadi peristiwa gangguan terhadap ketertiban umum, patologi sosial, maupun tindak kriminalitas seperti: (pencurian, perampokan, pencambretan, penipuan, pelacuran, dan peredaran narkoba) kecurigaan selalu akan distigmakan kepada pendatang (orang dari luar Bali) sebagai pelakunya. 
Persepsi dominan tentang adanya ancaman pihak luar dan konspirasi politik pihak luar yang ingin menghancurkan Bali, menimbulkan kecemasan dan perasaan terancam dari orang Bali. Semakin sering gangguan ketertiban umum terjadi dan berulang, semakin kuat keyakinan orang Bali bahwa mereka dalam keadaan terancam. Hal ini kemudian bermuara pada munculnya strategi untuk menghadapi ancaman dari luar yang oleh Degung Santikarma (2002) disebut sebagai ”budaya siaga dan siaga budaya”. 
Berkat kepiawaian para aktor kepentingan atau agensi memanipulasi dan mereproduksi wacana ”Ajeg Bali” ke dalam beragam arena sosial, banyak kalangan mulai dari pejabat birokrasi lokal maupun nasional, pengusaha, rohaniawan, rakyat biasa sampai akademisi memberi pengakuan dan persetujuan moral intelektual pada jargon ikonik ini. Keajegan Bali juga bermetamorfosis menjadi sebuah ikon dalam realiatas sosial budaya, ekonomi, dan politik Bali modern. Ia tereproduksi dalam berbagai ranah dan wujud, dan selalu dipergunakan dalam ragam kepentingan (Dwipayana, 2005). 
Ketika ”Ajeg Bali” sudah menjadi wacana yang sangat kuat mempengaruhi sistem reproduksi idesional atau struktur kognitif orang Bali dalam menjelaskan, mendefinisikan, mengklasifikasikan cara-cara dan praktik-praktik yang dapat diterima, maka beberapa problematik pertanyaan krusial dapat dimunculkan. Pertanyaan kultural yang relevan dimunculkan adalah: adat dan budaya Bali yang mana yang hendak diajegkan?; motif-motif kepentingan apa di balik konstruksi wacana ajeg Bali?; bagaimana Ajeg Bali dibangun?; siapa yang menentukan sistem pemaknaan kata Ajeg Bali itu?, dan implikasi apa yang ditimbulkan dari konstruksi tersebut?. 
Serangkaian pertanyaan itu krusial diajukan karena seperti kata Jean Baudrillad ”the real monopoly is never that of technical means, but speech”. Bagi Baudrillad pergelaran operasi kekuasaan tidak terbatas pada pengendalian sarana teknis dan sistem reproduksi material, akan tetapi juga melalui upaya-upaya manipulasi sistem-sistem reproduksi idesional, termasuk melalui bahasa Meminjam pendapat Pierre Bourdieu bahwa dalam ruang sosial, bahasa memiliki keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan. Ia bertujuan sebagai alat memperoleh kekuasaan dan juga untuk melestarikan kekuasaan (Bourdieu,1991; Ritzer,2004; Dwipayana, 2005; Kumbara, 2008). Dengan demikian, bahasa menjadi sesuatu yang tidak neteral apabila digunakan sebagai media dominasi atau kekuasaan. Melalui bahasa akan dimungkinkan terjadinya manipulasi sistemis atas teks dan tafsirnya guna menjaga, melestarikan, atau bahkan memperluas kepatuhan akan kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Sehingga dalam sebuah medan pertarungan kekuasaan, politik tidak ditentukan oleh siapa yang memenangkan pertandingan, tetapi oleh siapa yang menciptakan aturan main atas pemaknaan sebuah sistem simbol.