KONSERVASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI, PERSPEKTIF BUDAYA UNGGUL

Dinamika pembangunan dari tahun ke tahun hingga abad ke XXI ini semakin cepat, meluas, dan beragam seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia dimanjakan dengan berbagai produk industri. Industri juga merambah dan mempengaruhi wujud arsitektur dimana saja. Globalisasi telah terbukti menjadikan dunia tanpa batas. Ruang dan waktu bukan lagi penghalang, melalui perdagangan, transportasi, telekomunikasi, dan pariwisata; tidak hanya terjadi saling silang informasi namun dibalik itu terjadi pergulatan budaya. 

Pergulatan budaya yang paling mudah diamati adalah wujud fisik berlangsung dengan signifikan terjadi pula perubahan pada super struktur, infra struktur dan struktur sosial. Ketiga perubahan tersebut diyakini merupakan pengubah perilaku, sikap, cara pandang, bahkan juga ideologi tentang kehidupan dan penghidupan yang bermuara pada ranah arsitektur dimana saja, termasuk Bali. 

Perubahan merupakan hal yang abadi dalam pembangunan, namun tanpa disadari agen perubahan yang diawali oleh peningkatan jumlah penduduk, berkembangnya teknologi, ilmu pengetahuan, dan juga pendapatan menjadikan perubahan semakin meluas. Banyak bangunan rumah pada Arsitektur Tradisional Bali berubah atau menghilang digantikan dengan bangunan baru yang jauh dari identitas lokal yang berbudaya unggul. Suatu saat kelak orang Bali akan belajar Arsitektur Jineng di luar Bali, karena sebagian besar masyarakat Bali tidak lagi memiliki jineng

Hilangnya bangunan jineng sebagai contoh salah satu budaya unggulan bukanlah dikarenakan oleh perbuatan masyarakat pengusung budaya tersebut, melainkan oleh karena ketetapan pemerintah yang menggantikan bibit unggul padi mereka disawah. Akibatnya bukan hanya jineng yang hilang, akan tetapi diikuti oleh hilangnya alu, ketungan, dan ketam. Dengan cara yang hampir sama para pengusaha dan atau penguasa juga merancang pembangunan dengan memanfaatkan arsitektur yang berbudaya unggul menjadi fungsi atau dengan tegas mengubah bentuknya. Disisi lainnya masyarakat yang semakin terdesak kehidupannya karena persaingan yang kian ketat, pertumbuhan jumlah penduduk “keluarga inti ataupun batih” bermuara pada dirubahnya ruang maupun bangunannya tanpa sentuhan konservasi yang mengutamakan budaya unggulan.

Contoh diatas merupakan bagaimana Negara melihat kebudayaan bernilai jika ada hubungan dengan kepentingan nasional seperti jadi branding nilai dan produk yang potensial mendatangkan konstribusi ekonomi demi keperluan pembangunan (Kompas, 30 Agustus 2014: hal. 6). Selanjutnya dinyatakan kebudayaan seharusnya diposisikan dengan perspektif, pertama sebagai nilai-nilai yang mengusung orientasi tindakan produktif; dan kedua sebagai benda-benda yang bernilai tinggi. Konservasi Arsitektur. Tradisional Bali: Perspektif Budaya Unggul dipresentasikan pada arah kedua konsep tersebut diatas. 

Beragamnya wujud arsitektur disertai dengan keragaman wajah dari arsitektur yang tampil di pusatpusat kota merupakan contoh betapa kuatnya produk industri dengan wahana globalisasi mengubah matra ruang maupun wajah, dan fungsi arsitektur. Pertumbuhan industry manufaktur besar dan sedang di Bali menurut Siregar selaku Kepala Badan Pusat Statistik pada triwulan kedua tahun 2014 mencapai 4,15 %, lebih tinggi daripada angka nasional yang tercatat 2,34% (Bali Post, 25 Agustus 2014:3). Kenyataan ini setidaknya menggambarkan bahwa akan ada tekanan lagi terhadap sektor primer “agraris” yang merupakan ibu dari kebudayaan air semakin terdegradasi. Identitas menjadi semu bahkan juga mungkin palsu. Arsitektur kehilangan makna! Dan tentu juga kehilangan aset budaya! 

Peningkatan dan perkembangan pembangunan yang berdampak pada lahir, berkembang, maupun punahnya arsitektur, khususnya Arsitektur Tradisional Bali sebagai salah satu dari budaya unggul, diharapkan konservasi dapat menyelamatkan asset fisik, modal sosial dan modal budaya Bali.