MENUJU LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) BALI YANG LEBIH SEHAT : SUATU KAJIAN STRUKTUR PENGENDALIAN INTERN

Disamping terkenal sebagai pulau seribu pura dan pulau seribu bank, sebelumnya Bali juga layak disebut sebagai pulau seribu lembaga keuangan bukan bank. Sebutan itu bisa dianggap benar karena sampai dengan awal tahun 2006, di Bali telah berdiri 1.200 buah lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang tersebar di plosok kabupaten dan kota. Dari ribuan jumlah LPD tersebut, masing-masing sebanyak 32 buah di Kota Denpasar, 118 buah di Kabupaten Badung, 226 buah di Kabupaten Tabanan, 225 buah di Kabupaten Gianyar, 56 buah di Kabupaten Jembrana, 159 buah di Kabupaten Buleleng, 139 buah di Kabupaten Bangli, 89 buah di Kabupaten Klungkung, dan 156 buah di Kabupaten Karangasem (Bank Indonesia, 2006). Sedangkan sampai dengan tri wulan pertama tahun 2007, jumlah LPD telah mencapai 1.304 buah dari 1.414 desa adat yang ada di Bali (BPD Bali, 2007). Data tersebut menunjukan bahwa dalam dua tahun terakhir, terdapat penambahan jumlah LPD di Bali sebanyak 104 buah.

Dulu sebelum tahun 1988, jenis lembaga keuangan bukan bank seperti LPD, sebetulnya banyak ada di indonesia. Secara nasional, lembaga keuangan pedesaan ini disebut sebagai Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) yang oleh Proyek Financial Institution Development (FID), untuk pertama kalinya pada tahun 1964 dibentuk di sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada tahun 1984 pembentukan lembaga sejenis dilakukan lagi di empat provinsi, yakni Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Jadi di tingkat nasional, pada mulanya telah ada tujuh provinsi yang memiliki LDKP yang beroperasi di tingkat kecamatan dan pedesaan seperti LPD. Sayangnya, karena ada Pakto 27 Tahun 1988 yang disusul oleh UU Perbankan No. 10 Tahun 1998, keberadaan lembaga sejenis di daerah lain telah berubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Sejak awal didirikannya LPD di Bali, telah memiliki beberapa tujuan mulia antara lain : Pertama, untuk mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif. Kedua, meberantas sistem ijon, gadai gelap dan lain-lain yang bisa disamakan dengan itu di daerah pedesaan, yang pada saat itu masih banyak ada di daerah Bali. Ketiga, menciptakan pemerataan dan kesempatan kerja bagi warga pedesaan, baik yang bisa ditampung secara langsung di LPD, maupun yang  bisa ditampung oleh usaha-usaha produktif masyarakat yang dibiayai oleh LPD. Keempat, menciptakan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa.

Setelah dua puluh tahun dirintis, kini peran LPD semakin signifikan dapat dirasakan, hampir oleh seluruh masyarakat. Fungsi nyatanya selain nampak secara ekonomis, juga dapat dinikmati secara sosial, bahkan religius oleh masyarakat Bali. Disamping banyak manfaat dan keunggulannya, sebuah lembaga keuangan seperti LPD, apalagi baru berumur dua puluh tahun, tentu juga memiliki beberapa kelemahan yag memerlukan pemikiran lebih lanjut, tidak hanya dari pengurus, pembina dan pemerintah saja, tetapi juga masyarakat Bali secara luas, termasuk dari kalangan perguruan tinggi.

Tujuan dari penulisan topik ini adalah untuk menguraikan  keberadaan LPD di Bali, yang di awali dengan mengungkap sejarah LPD yang unik, kelembagaan yang tetap bertahan sebagai lembaga keuangan bukan bank dan fungsi LPD disamping memberikan maanfaat ekonomis terhadap masyarakat luas di Bali, juga memberikan manfaat sosial dan bahkan religius. Pada bagian selanjutnya juga diuraikan lingkungan usaha eksternal dan internal  yang mempengaruhi perkembangan LPD, tentang kriteria kesehatannya, dan tentu juga kearifan lokal yang menjadi ujung tombak pengelolaan LPD. Sebagai pemikiran pokok, diuraikan efektivitas struktur pengendalian intern yang menjadi kebutuhan LPD di masa depan agar tetap dapat menjaga kesehatannya.