KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM BUDAYA HUKUM MASYARAKAT BALI (DIMENSI AKSES DAN KONTROL PEREMPUAN ATAS HARTA KEKAYAAN KELUARGA)

Kesetaraan dan keadilan gender secara umum diartikan sebagai kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, mahluk Tuhan, kesamaan dalam berperan dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan dan dalam berbagai bidang pembangunan; dan kondisi yang adil bagi laki-laki dan perempuan, untuk akses dan kontrol serta memperoleh manfaat dari hasil-hasil pembangunan. Dalam hal ini secara khusus akan terfokus pada harta kekayaan keluarga. dengan budaya hukum pada umumnya, meliputi kebiasaan-kebiasaan (custom), pandangan-pandangan (opinion), cara berbuat dan berpikir (ways of doing and thinking) dan lain-lain. Budaya hukum dibedakan atas budaya hukum internal (internal legal culture), budaya hukum dari orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti: pengacara, hakim, jaksa, birokrat dan lain-lain dan budaya hukum eksternal (eksternal legal culture) adalah budaya hukum dari warga masyarakat secara umum (Friedman, 1969). Budaya hukum itu sendiri meliputi dua unsur yaitu: budaya hukum yang berkaitan dengan nilai hukum keacaraan (procedural legal culture) dan nilai hukum substantif (substantive legal culture) (Lev, 1990). Dalam uraian ini akan disampaikan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat Bali dan bagaiamana sikap dan perilaku para penegak hukum (pengadilan) dalam masalah yang berkenaan dengan akses dan kontrol perempuan atas harta kekayaan keluarga.

Telah membudaya dalam masyarakat apa yang dikenal dengan budaya patriarki, dengan stereotip gendernya serta pembagian kerja secara seksual dengan dikotomi laki-laki di dunia publik, perempuan di dunia domestik. Dari berbagai informasi baik dari data sekunder maupun data primer, para teoritisi maupun praktisi, pemerhati perempuan, menunjukkan bahwa hal tersebut telah menempatkan perempuan dalam posisi yang enferior dan laki-laki superior yang berdampak atau membawa konsekuensi dalam berbagai aspek kehidupan dan posisi yang kurang menguntungkan bagi. perempuan. Secara resmi masalah perempuan telah diangkat sebagai masalah nasional sejak PELITA III (1978) dengan berbagai kebijakan, langkah dan program telah dilaksanakan untuk memecahkan masalah perempuan serta meningkatkan kedudukan dan peran perempuan atau belakangan dikenal pemberdayaan perempuan. Dewasa ini secara jujur diakui telah dicapai berbagai kemajuan, perempuan sudah banyak yang berpartisipasi di sektor publik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan perempuan berperan sebagai pencari nafkah tambahan maupun sebagai pencari nafkah utama. (Ariani, 1986; 1993; 1996; 2005; Arjani: 1998;2006; Wiasti,2006). Hasil penelitian Hull (dalam Dewi, 2006) di daerah Yogyakarta juga menunjukkan bahwa perempuan dari lapisan sosial bawah memberikan sumbangan yang besar terhadap penghasilan keluarga. Dengan demikian perempuan turut serta dalam menghidupi keluarga/ meningkatkan ekonomi keluarga dan mempunyai kontribusi dalam mewujudkan harta kekayaan keluarga. Apakah dengan demikian sudah terwujud kesetaraan dan keadilan gender, apakah perempuan mempunyai akses dan kontrol yang sama dengan laki-laki atas harta kekayaan keluarga.