FUNGSI BAHASA DAN KEKERASAN VERBAL DALAM MASYARAKAT

Bahasa adalah sarana komunikasi yang paling efektif. Dengan bahasa manusia dapat mengomunikasikan pikiran dan perasaannya. Saya tidak dapat membayangkan seandainya manusia tidak mempunyai bahasa, tentu akan sangat sulit untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya. Bahkan, akan sangat sulit untuk memahami pikiran dan perasaan manusia lain. Sebagai alat, bahasa tidak hanya mengungkapkan pikiran manusia yang baik-baik saja. Demikian pula, bahasa tidak mengungkapkan perasaan penuturnya yang baik-baik atau yang menyenangkan saja. Bahasa juga mengungkapkan pikiran dan perasaan penuturnya yang tidak baik atau tidak menyenangkan. Dalam kaitan inilah bahasa bagaikan pisau bermata dua. Sangat sering terjadi bahwa kekerasan pisik dimulai dan dipicu oleh kekerasan bahasa (baca verbal). 

Belakangan ini banyak ditayangkan di media massa, baik elektronik maupun cetak berita tentang kaburnya seorang anak dari rumah. Kompas terbitan tanggal 30 November 2010 memuat berita tentang kaburnya seorang anak perempuan berumur 10 tahun bernama Nabila Amalia Putri. Anak perempuan ini kabur dari rumah orang tuanya di Tengerang Selatan. Berita tentang Arumi Bachin yang kabur dari rumah sebanyak tiga kali juga tidak kalah menariknya. Ini adalah contoh kecil yang diekspos di media massa. Saya sangat yakin masih ada puluhan atau mungkin ratusan anak yang kabur dari rumah yang luput dari pantauan media.

Apa yang menyebabkan anak-anak itu kabur? ternyata penyebab utamanya adalah anak-anak itu telah mengalami kekerasan verbal di rumahnya. Arumi Bachin, misalnya sebelum kabur ia dipaksa untuk menerima pertunangan lelaki yang layak menjadi bapaknya. Ia dipaksa dan diancam oleh orang tuanya.
Demikian pula, Nabila Amalia Putri terpaksa kabur karena tidak sanggup setiap hari dicaci maki oleh ibu tirinya. Bahasa yang semestinya berfungsi memuliakan manusia justru menistakan manusia. 

Barangkali kita sendiri mungkin sebagai ayah, sebagai dosen, sebagai suami, atau sebagai atasan seringkali melakukan kekerasan verbal itu pada anak, mahasiswa, istri, atau bawahan. Sadar atau tidak kita punya andil terhadap perkembangan anak, mahasiswa, istri, dan bawahan. Anak yang penakut, mahasiswa yang tidak mandiri, atau istri yang selingkuh, dan pegawai yang frustasi adalah harga yang harus dibayar akibat kekerasan verbal itu. Selama ini, istilah kekerasan hanya dimaksudkan sebagai kekerasan pisik. Misalnya, pemukulan, penganiayaan, atau pembunuhan. Jarang sekali istilah kekerasan verbal ditindaklanjuti secara tuntas. Walaupun demikian, pengaduan kepada pihak berwajib terhadap pencemaran nama baik dan fitnah membuktikan bahwa masyarakat mulai menyadari arti kekerasan itu tidaklah hanya berkaitan dengan pisik. 

Secara etimologis kata kekerasan berasal dari kata keras mendapat konfiksasi ke-/-an yang berarti "perihal (yang bersifat, berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; paksaan (Pusat Pembinaan  dan Pengembangan Bahasa, 1995: 485) Bertolak dari pengertian ini, maka istilah kekerasan hanya dikaitkan dengan masalh fisik baik yang menyebabkan kematian, cedera, maupun kerusakan barang. Dengan demikian, tindakan seseorang atau kelompok yang dianggap melakukan kekerasan hanyalah mencakup: pemukulan, penganiayaan, pembunuhan, dan atau perusakan terhadap barang atau bangunan orang lain. Kekerasan tidak disangkutpautkan dengan dampak mental seperti: penghinaan, fitnah, menyindir mengancam, membentak, menghardik, mencaci maki. Dampak tindakan verbal ini sama beratnya dengan kekerasan fisik. Bahkan kekerasan verbal akan berdampak lebih berbahaya karena tidak gampang dilupakan. Seorang anak yang mengalami kekerasan verbal akan mengingatnya selama hidupnya, dan seringkali menjadi trauma yang berkepanjangan.

Kekerasan hanya lebih difokuskan pada kekerasan fisik karena kekerasan ini secara kasat mata dapat dibuktikan. Misalnya, seorang korban dapat diobservasi secara kasat mata apakah ia menderita luka, memar, atau mati atau apakah mobilnya, rumahnya, dan barangnya yang lain mengalami kerusakan. Berdasarkan bukti inilah kekerasan fisik lebih gampang ditindak dari segi hukum, dan pelakunya pun dapat ditindak karena secara nyata telah melanggar hukum.